Pawarta Adicara!

JARINGACARA sebagai media publikasi memiliki keinginan turut memberi warna dalam mengabarkan segala agenda acara seni budaya, pariwisata, warta, cuaca, juga menebarkan canda-tawa.
Perihal kontak kerjasama publikasi pun media partner, sila simak “Syarat dan Ketentuan“.

4.8/5 - (6 votes)
HIGHLIGHT
   
Biennale Jogja Equator 5 -Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana

“Museum Kapal” Merupakan Presentasi dalam Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana


Diwartakan oleh Rika Purwaka pada 26 Oktober 2019   (3,323 Readers)

Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana merupakan titik temu dari gagasan dua lembaga yaitu yang terdiri dari Cemeti Institut Seni (dan Masyarakat) serta Yayasan Biennale Yogyakarta.

Dalam Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana ini ada upaya dari penyelenggara untuk melihat Indonesia tidak hanya dalam kerangka sebatas kota-kota pusat seni, melainkan bergerak dan menyingkap narasi-narasi di titik-titik lain, terutama yang terhubung dengan khatulistiwa.

Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana telah diselenggarakan, dan terdapat delapan sosok seniman yang berkolaborasi, yang salah satunya adalah seniman asal Madura bernama Syamsul Arifin. Bertempat di Cemeti Institut, ia mempresentasikan ikhwal Museum Kapal.

Dalam pengejawantahannya, Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana ini menjadi upaya untuk saling memandang dan mengalami konteks-konteks budaya dan cara hidup yang berbeda. Dari program tersebut, harapannya dapat menghadapkan seniman pada titik balik diskursus kreatif yang berbeda dari proses kerja sebelumnya. Selain itu juga agar dapat menjadi bagian untuk bekerja dengan isu-isu yang berada di luar arus utama.

Pameran dalam Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana ini dibuka dengan pertunjukan “Museum Kapal” yang dipresentasikan oleh Syamsul Arifin, yaitu pada tanggal 17 Oktober 2019 dengan tempat berada di Cemeti Institute yang berlamat di Jl. D.I. Panjaitan 41, Yogyakarta.

Pada program tersebut, Syamsul Arifin membuat konsep pertunjukan, serta karya artistik mengenai Museum Kapal yang menjadi inspirasi karyanya. Kapal diambil sebagai media, karena bagi Syamsul, kapal dinilai menjadi peristiwa sejarah. Selain itu, kerangka kapal dan proses pembuatannya adalah nilai tradisional yang harus dilestarikan. Pengetahuan mengenai kapal hanya selintas di masyarakat, tidak hanya sebatas geografis pelayaran.

Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana

Konsep pertunjukan Syamsul ini menghadirkan sebuah balok besar yang saling dikaitkan, melambangkan prinsip persetubuhan, dari sepasang balok yang saling tergabung berupa lingga-yoni yang saling menyambung. Lingga dan yoni ini dimaknai dengan kesuburan. Karakter semiotik pada pertunjukannya didapatkan dari pengalaman sehari-hari di lapangan, yaitu selama melakukan residensi di pulau Mandar, Sulawesi Barat.

Melalui pengalamannya selama Residensi di pulau Mandar -Sulawesi Barat tersebut, Syamsul menemui ketegangan, baik ketegangan yang lama dan baru ia hempaskan pada tanggul sebagai semiotik teknologi baru, yang dihempaskan ke dinding galeri.

Karya Syamsul yang dipampang di Biennale Jogja 2019 ini bercerita mengenai kapal tradisional, ketegangan antara teknologi lama dan baru, kapal dan tanggul. Berawal dari teknologi tradisional, sebuah pemikiran bagaimana seseorang dapat membuat sebuah kapal. Masyarakat mempercayai, kapal adalah rumah bagi nelayan. Kapal seperti manusia, sehingga seorang nelayan harus memperlakukan kapal dengan baik. Kapal memiliki ikatan roh dan jiwa seperti manusia.

Kehidupan Syamsul Arifin erat dengan kehidupan pesisir nelayan. Pasalnya Syamsul sendiri merupakan seorang pesisir nelayan yang kebetulan memiliki jiwa seni. Ia aktif membuat seni teater bersama teman-temannya di kampung. Ketika tiba di Pambusuang, Mandar, Sulawesi Barat, ada hal menarik yang ia temukan, sebuah pro dan kontra antara munculnya budaya teknologi baru, yang memberi dampak baik dan buruk, khususnya masyarakat di pulau Mandar. Masyarakat pinggir pantai yang masih menjaga kearifan lokal, ritus dan tradisi.

Bagi masyarakat pinggir pantai, tanggul memberi efektifitas, sedangkan masyarakat yang jauh dari kawasan pantai adanya tanggul tidak memberikan ruang yang cukup bagi kapal untuk berlabuh. Berbeda di jaman dahulu, adanya tanggul di musim kering atau tidak ada ikan, masyarakat melabuhkan perahu di darat, sedangkan realitasnya masyarakat merasa kebingungan dimana meletakkan kapal tersebut. Ketika musim hujan, ombak besar yang menghantam kapal, membuat kapal terombang-ambing.

Syamsul melihat adanya tanggul bagi sebagian orang dapat menyelesaikan solusi persoalan sampah di laut, tetapi baginya peran tanggul tidak berhasil untuk membuat solusi tentang persoalan sampah. Nelayan merasa terganggu dengan adanya sampah, di sisi lain anak muda setempat sering membuang botolbotol di laut dan pecahan botol yang mengenai kaki nelayan. Hal semacam itulah yang menjadi kontekstualitas Syamsul.

Selain itu permasalahan nelayan yang berkaitan dengan laut, banyaknya sampah yang dibuang ke laut membuat laut menjadi tercemar.

Biennale Jogja Equator 5 -Presentasi dalam Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana

Masih dalam rangkaian Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana yang dihadirkan pada helatan Biennale Jogja XV Equator #5 tahun 2019 ini, selain Syamsul Arifin tampil juga seniman lain. Di antaranya pada 21 Oktober 2019 juga dihadirkan performance “Air Mata Kaki” oleh Arif Setiawan sebagai seniman asal Pontianak. Dan pada 31 Oktober 2019 agendanya akan tampil Lab Aransemen “Pekerti Padi” Tajriani Thalib dari Mandar – Sulawesi Barat, yang berkolaborasi dengan Purwanto & Silir Pujiwati. [rpw]

4.8/5 - (6 votes)

4.8/5 - (6 votes)

Simak Pula Pawarta Tentang , Atau Adicara Menarik Lain Oleh Rika Purwaka


Tentang Rika Purwaka