Artjog 2024 yang Menghadirkan Kolaborasi Nicholas Saputra Happy Salma, & Gunawan Maryanto Menjadi Upaya Menafsir Kembali Harapan
ARTJOG tahun 2024 yang mengusung tema Motif: Ramalan siap diselenggarakan selama lebih dari 2 bulan, yaitu dimulai pada 28 Juni dan diakhiri pada tanggal 1 September 2024 dengan lokasi masih di area Jogja National Museum Wirobrajan Yogyakarta.
Sebagaimana yang sudah dialami beberapa tahun bahwa Artjog 2024 kali ini kehadirannya bukan hanya sebagai sebuah festival seni kontemporer, namun lebih dari itu ia juga menjadi sebuah perayaan yang mengajak seluruh masyarakat untuk terlibat dalam lebaran seni secara bersama-sama. Karena itu dalam perayaan ini ARTJOG selalu berusaha menjadikan diri sebagai ruang pertemuan seluas-luasnya melalui kegiatan dan aktivitas seni.
Artjog 2024 menampilkan ragam karya dari sbanyak 48 seniman dewasa individu maupun kelompok, dari dalam dan luar negeri (30 seniman undangan dan 18 seniman panggilan terbuka), serta 36 seniman anak dan remaja yang lolos seleksi.
Tentang Tema Artjog 2024 Motif: Ramalan
Tema ramalan diusung dengan pengertian yang cukup luas, di mana ramalan merupakan pola imajiner yang menghubungkan persilangan antara waktu lampau, hari ini, dan esok. Sebagai motif imajiner, pemaknaan atas suatu peristiwa tidak sepenuhnya ditentukan oleh sesuatu yang mendahuluinya, layaknya sebuah hipotesis di dalam bidang keilmuan. Bagi seniman, ramalan adalah imajinasi dan daya prediksi yang menggerakkan kreativitas dalam proses mencipta. Gagasan tema ramalan ini juga tidak
hanya bermaksud untuk memastikan nujum atau ramalan para peramal di masa lalu, akan tetapi, tema ini menawarkan kesempatan bagi kita untuk membayangkan kembali gambaran peristiwa dan harapan menuju hari esok.
Di dalam acara Press Conference ARTJOG yang diselenggarakan di area Jogja National Museum pada tanggal 28 Juni 2024, tepatnya beberapa jam sebelum Artjog 2024 dibuka, kurator tamu Hendro Wiyanto menuturkan bahwa ramalan itu sebetulnya prediksi, sesuatu yang diayangkan akan terjadi di masa depan, yang jauh atau yang dekat, dan peristiwa yang dibayangkan itu –paling tidak menurut para kurator– sebetulnya sudah dialami hari-hari ini.
“Kami berharap undangan dengan seniman ini tidak hanya mengundang mereka untuk mengimajinasikan atau mereka-reka, tetapi juga berimajinasi dengan … kewaspadaan dan perhatian sungguh-sungguh apa yang sekarang kita alami dan sejarah yang
kita alami,” tutur Hendro.
Seniman Komisi Agus Suwage dan Titarubi
Di helatan Artjog 2024 kali ini secara khusus juga turut mengundang Agus Suwage dan Titarubi (isti Agus Suwag) sebagai seniman komisi untuk merespon tema, menghadirkan sebuah gagasan yang saling berkaitan melalui karya instalasi interaktif dengan berbagai dimensi dan media. Karya ini ditampilkan di depan gedung pamer, di dalam bangunan khusus yang di dalamnya terdapat area lobi dan lorong dengan beberapa bilik ruangan.
Agus Suwage menampilkan objek-objek telinga manusia sebagai simbol indera pendengaran yang sangat “toleran” di ruang sosial kita yang penuh kebisingan. Di sisi lain, hanya melalui indera pendengaran kita dapat menguji pengalaman ketubuhan dan mengalami keheningan. Di ruang yang sama, Titarubi menumbuhkan berbagai jenis padi yang diiringi rekaman doa, pepatah, dan pujian dari kelompok masyarakat adat yang dapat didengarkan di beberapa ruangan, termasuk yang ada di dalam karya Agus
Suwage. Karya ini setidaknya mewakili cara manusia memahami sebuah ramalan, sebagaimana doa merupakan harapan terhadap situasi yang diinginkan di masa mendatang. Selain itu, karya ini juga menandai kerja kolaborasi mereka yang terakhir kali dilakukan di Singapore Biennale pada tahun 2007 silam,
Kolaborasi Nicholas Saputra, Happy Salma, & (alm) Gunawan Maryanto
Selain karya komisi, ARTJOG 2024 – Motif: Ramalan juga menampilkan karya-karya dari Jun Kitazawa (Jepang), Kolektif Menyusur Eko Prawoto, kolaborasi antara Nicholas Saputra, Happy Salma, & (alm) Gunawan Maryanto, serta On Kawara (Jepang, 1932-2014).
Secara singkat, Jun Kitazawa menghadirkan kembali gumpalan besi pesawat tempur Hayabusa (yang artinya falcon atau elang) menjadi sebuah layang-layang berekor panjang yang dapat diterbangkan. Melalui layang-layang ini Kitazawa menghadirkan kembali fragmen sejarah pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945. Pada ekor layang-layang ini ia menampilkan kumpulan ingatan orang-orang tua yang mengalami masa penjajahan tersebut. Secara mendalam, ia ingin membaca peristiwa masa lampau untuk memberi kemungkinan pilihan bagi masa depan yang lebih baik.
Sementara itu, Kolektif Menyusur Eko Prawoto menyuguhkan sebuah instalasi bambu berjudul Leng (2008), karya yang menandai (alm) Eko Prawoto di ranah seni rupa. Karya ini terdiri dari susunan bambu yang berada dalam posisi ambang atau di antara, yang memadukan teknik/praktik ketukangan dan keindahan, mendekatkan kerasnya material dan ungkapan puitis, serta melahirkan kesinambungan antara kedekatan dan jarak. Karya ini juga mencerminkan praktik artistik, cara pandang, pemikiran, dan metode kerja Eko Prawoto dalam persimpangan bidang antara arsitektur, seni, budaya, dan kehidupan secara luas.
Kolaborasi antara Nicholas Saputra, Happy Salma, dan (alm) Gunawan Maryanto menghadirkan sebuah karya alih wahana dari pembacaan Serat Centhini khususnya dalam bagian Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, terjemahan Elizabeth D. Inandiak tahun 2002 dalam Bahasa Perancis (kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia tahun 2004) yang akan dibagi menjadi 6 babak. Secara visual, instalasi ranjang dan kelambu dihadirkan melalui kolaborasi dengan Iwan Yusuf. Dalam Serat Centhini
yang asli, dikisahkan bahwa Amongraga dan istrinya, Tambangraras melewatkan empat puluh malam di dalam kamar pengantin tanpa bersetubuh. Empat puluh malam itu mengisi enam pupuh terakhir jilid ke-VI dan empat belas pupuh pertama jilid ke-VII. Melalui karya ini, kita diajak untuk memaknai isi dari percakapan antara Amongraga dan Tambangraras sebagaimana sebuah suluk dipresentasikan kembali di era kontemporer hari ini, seperti halnya memaknai sebuah ‘ramalan’ dari masa lalu.
Di sisi lain, On Kawara menyajikan salah satu karyanya yang berjudul One Million Years, sebuah seri monumental yang mencakup 2.000.000 tahun dan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama One Million Years (Past) diciptakan pada tahun 1970-1971. Bagian kedua One Million Years (Future) diselesaikan antara tahun 1980 sampai 1998. Kedua bagian ini akan dibaca secara bergantian oleh satu pembaca laki-laki untuk tahun-tahun ganjil dan satu pembaca perempuan untuk tahun genap. Pembaca di luar kriteria gender itu dapat memilih secara manasuka. Sistem pembacaannya melanjutkan bagian terakhir dari
lokasi pembacaan sebelumnya yang telah diselenggarakan di berbagai tempat dan negara. Pembacaan pertama karya ini berlangsung di Dia Center for the Arts, New York tahun 1993. Di Indonesia, karya ini sebelumnya pernah dipresentasikan di Museum Macan, Jakarta, tahun 2018.
Turut hadir Press Conference ATJOG 2024 adalah perwakilan dari Bakti Budaya Djarum Foundation, ialah Teguh Yasa, yang menjelaskan bahwa kerjasama yang diselenggarakan dengan ARTJOG merupakan upaya untuk mendukung dan mendorong ekosistem seni pertunjukan Indonesia, sekaligus untuk menjalin interaksi antar pelaku seni dan budaya di Indonesia.
“Ini bukan pertama kalinya (Bakti Budaya Djarum Foundation) bersama ARTJOG, (kerjasama ini) sudah bertahun-tahun, tetapi senangnya ada sebuah inovasi baru sekarang (bernama) performa•ARTJOG, dimana Bakti Budaya Djarum Foundation mendukung penuh karena ini memang sangat sesuai dengan program kami untuk mendukung seni pertunjukan seni pertunjukan di Indonesia. Salah satu keinginan kami dari Bakti Budaya Djarum Foundation adalah mendekatkan seniman dengan penikmatnya … sehingga terjadi interaksi antara penikmat seni dan juga seniman,”ungkap Teguh Yasa.
Performa ARTJOG 2024
Selain di dalam gedung pameran, program performa•ARTJOG yang didukung sepenuhnya oleh Bakti Budaya Djarum Foundation akan hadir di panggung ARTJOG untuk memeriahkan penyelenggaraan festival sebagai sebuah platform bagi seni pertunjukan, seni performans, maupun seni peristiwa langsung lainnya.
Program performa•ARTJOG menampilkan penari Rianto dan musisi Risky Summerbee & The Honeythief beserta 57 seniman penampil lainnya untuk mempresentasikan gagasan dan ide karyanya. Rianto menghadirkan sebuah karya bertajuk Perjalanan Tubuh Jawa bersama Cahwati Sugiarto (seorang penari, penyanyi, komposer, dan koreografer asal Banyumas) untuk menciptakan gerakan transisi yang dialami tubuh melalui pertunjukkan tarian dan iringan musik.
Sementara Risky Summerbee & The Honeythief menyuguhkan pertunjukkan musik yang intim dan eksploratif bersama skenografer Andi Seno Aji dengan eksplorasi tata lampu serta mengajak penonton menjadi bagian dari panggung dan penampil.
Selama penyelenggaraan, ARTJOG 2024 – Motif: Ramalan akan menghadirkan program-program khas pendukungnya, yaitu Young Artist Award, ARTJOG Kids, performa•ARTJOG, Exhibition Tour, Meet the Artist, Merchandise Project, Artcare Indonesia, Jogja Art Weeks, dan yang terbaru Love 🤟 ARTJOG.
ARTJOG 2024 – Motif: Ramalan dapat dikunjungi dari pukul 10.00 hingga 21.00 WIB dengan harga tiket masuk Rp 75.000 (dewasa) dan Rp 50.000 (anak-anak usia 6-16 tahun). Tiket bisa didapatkan melalui website dan loket di lokasi. Informasi mengenai jadwal kunjungan, agenda program, dan pendaftaran tur dapat diakses melalui situs web www.artjog.id [uth]
Tinggalkan Balasan