Pawarta Adicara!

JARINGACARA sebagai media publikasi memiliki keinginan turut memberi warna dalam mengabarkan segala agenda acara seni budaya, pariwisata, warta, cuaca, juga menebarkan canda-tawa.
Perihal kontak kerjasama publikasi pun media partner, sila simak “Syarat dan Ketentuan“.

HIGHLIGHT
   
Sekolah (Bukan) Arsitektur

Sekolah (Bukan) Arsitektur


Diwartakan oleh Rika Purwaka pada 20 Juni 2019   (4,077 Readers)

“Sekolah (Bukan) Arsitektur | Teks dan Konteks Ruang Hampa Arsitektur Indonesia” adalah satu workship penulisan kritis perihal artistektur persembahan dari Jaringan Ugahari yang bersama dengan beberapa lembaga pun institusi ternama. Di antaranya adalah Lembaga Studi Realino, KUNCI Cultural Studies, Indonesian Visual Art Archive (IVAA), dan Galeri Lorong.

Pelaksanaan workshop “Sekolah (Bukan) Arsitektur | Teks dan Konteks Ruang Hampa Arsitektur Indonesia” ini diagendakan mulai tanggal 9 dan akan berkahir pada 19 Juli 2019, yaitu dari pukul 9.00 hingga 12.00 WIB, dengan mengambil tempat di di Ruang kelas Lembaga Studi Realino, tepatnya beralamat di Jl. STM Mrican Gejayan, Caturtunggal, Depok Sleman, Yogyakarta.

Salah satu tujuan dari adanya Sekolah (Bukan) Arsitektur adalah, bahwa melalui pendekatan interdisiplin diharapkan bisa memperkaya perspektif kritis dalam rangka membedah persoalan di lingkup studi arsitektur. Pengayaan perspektif yang berbeda menjadi penting dan strategis guna membaca ulang antara teks dan konteks, juga utopia dan realitas berarsitektur yang telah berlangsung hingga hari ini.

Dan era infrastruktur yang masif di Asia Tenggara sekarang ini tak lain adalah merupakan era arsitek(tur). Bukan hal sepele dan remeh ketikan membicarakan bahwa era sekarang ini dikuasai korporasi, dengan salah satu mesin utamanya: arsitek(tur).

Arsitektur sebagai perpaduan antara ilmu keteknikan, ilmu seni, dan ilmu sosial memiliki legitimasi jiika harus dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain dalam lingkup pembangunan sejenis. Artinya, ruang lingkup profesi arsitektur bukan hanya sekedar bangun-membangun rumah, melainkan juga mendulang tata (dan kelola) ruang kota, sekaligus rancang bina lingkungan, termasuk di dalamnya adalah juga kerja partisipatif –yang biasanya menyasar hingga masyarakat (perdesaan maupun perkotaan).

Namun di balik itu semua, ada hal yang perlu digaris bawahi perihal bidang studi yang strategis pada masa kritis sekarang ini, bahwa sesungguhnya ia telah menjadi instrumentalis. Legitimasi keilmuannya dalam ranah desain semakin profesional, sehingga  yang muncul sebagai konsekuensi dari ranah desain itu adalah bahwa adanya hutan yang dikepras, bukit yang diratakan, teluk yang ditimbun, hewan yang ditiadakan, dan masih banyak lagi. Dengan demikian dapat diartikan bahwa praktik arsitektur yang sebenarnya “adalah mandi” diskursus praksis, namun justru ia menjadi terjerembab dalam lingkaran hirarki kuasa proyek yang mereduksi kemampuan kreatif dan juga menghabisi cara pandang kritis, hingga menyisakan segumpal elit-elit arsitek(tur) yang mampu menempati posisi penting dari lingkaran developmentalisme.

Pendidikan arsitektur yang harapannya bisa memberikan dorongan terhadap kemampuan produksi pengetahuan yang kritis, kenyataannya malah memperangkap dalam jerat instrumentalisasi cara berpikir yang dominan pada era pembangunan.

Memang menarik menyimak artikel perihal bangunan joglo yang tahan gempa dan juga artikel-artikel kontemporer. Namun toh, hal itu bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat.  Bahkan, bisa dikatakan ia sangat kurang memberi sumbangsih apapun pada ruang-waktu yang terlanjur kontemporer ini.

Membahas dan membicarakan ketukangan memang asyik, akan tetapi jika pembicaraan itu dilaksanakan dengan tidak melihat kenyataan bahwa ketukangan semakin dihabisi sistem kerja profesionalitas, posisinya sebagai buruh konstruksi, dan nalar korporasi, lantas mau apa dan bagaimana?

Pertanyaan “bagaimana” yang sebenarnya tajam mengupas mekanisme-mekanisme sosial dengan dampak menghadirkan problem sosial, masalah lingkungan, dan kendala kemanusiaan, direduksi menjadi “how to” yang dibayangkan linear tumbuh dalam ruang hampa dengan batas-batas kepemilikan, profesionalisme keilmuan desain, dan aturan main standar global cara membangun yang seragam dan eksploitatif.

Point yang dipersembahkan pada Sekolah (Bukan) Arsitektur ini adalah menyediakan ruang alternatif bagi peserta workshop penulisan untuk menggagas ide dan berpikir kreatif (non-instrumentatif), menyediakan ruang – terutama bagi perempuan-perempuan – arsitektur dalam ranah kritik arsitektur.

Peserta dalam program Sekolah (Bukan) Arsitektur ini terbatas hanya sekira 15 orang (lulusan arsitektur dan diutamakan perempuan) dengan biaya Rp350.000,-. Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, sila kontak melalui Narahubung di Nomor +62 8122 973 5055 atau email di sekolahbukanarsitektur@gmail.com

4.7/5 - (3 votes)

Simak Pula Pawarta Tentang , Atau Adicara Menarik Lain Oleh Rika Purwaka


Tentang Rika Purwaka