Pawarta Adicara!

JARINGACARA sebagai media publikasi memiliki keinginan turut memberi warna dalam mengabarkan segala agenda acara seni budaya, pariwisata, warta, cuaca, juga menebarkan canda-tawa.
Perihal kontak kerjasama publikasi pun media partner, sila simak “Syarat dan Ketentuan“.

4.7/5 - (8 votes)
HIGHLIGHT
   
Mangayubagya Jumenengan Dalem Sri Sultan n Hemas

Pembukaan Pameran Budaya Jawa ‘Abalakuswa’ Kraton Yogyakarta Hadirkan Fragmen Golek Menak ‘Jayengrana Jumeneng Nata’ Sebagai Hasil Pembacaan Naskah HB I dari British Library


Diwartakan oleh Official Adm pada 8 Maret 2020   (4,445 Readers)

Selasa Wage 29 Rejeb Tahun Wawu 1921 menjadi waktu bersejarah bagi keberadaan Kraton Jogjakarta, pasalnya pada hari tersebut Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi dinobatkan sebagai Sultan ke-10 di Keraton Kasultanan Yogyakarta. Karenanya pada setiap tanggal 29 Rejeb selalu diperingati sebagai hari ulang-tahun penobatan yang secara tradisional dikenal dengan istilah Tingalan Jumenengan Dalem. Selanjutnya pada tahun 2020, bertepatan dengan Tahun Wawu 1953, Tingalan Jumenengan Dalem berada dalam fase tumbuk, dimana 29 Rejeb kembali jatuh pada Hari Selasa Wage. Fase ini tentunya menjadi tahun yang monumental bagi Keraton Yogyakarta untuk kembali merefleksikan perjalanan 32 tahun dari sebuah kekuasaan yang mewarnai peradaban.

Seiring dengan peringatan naiknya tahta sultan tersebut maka digelar pula Pameran Budaya Jawa ABALAKUSWA : Hadibusana Keraton Yogyakarta. Ialah satu pameran yang dihelat guna memeriahkan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, yaitu dengan mengusung tema besar ‘Busana dan Peradaban di Keraton Yogyakarta’.

Pameran Budaya Jawa ‘Abalakuswa’ itu sendiri dibuka seiring dengan Ngarsa Dalem genap bertakhta selama 31 tahun jika dihitung dengan penanggalan tahun masehi, yaitu tepat pada hari Sabtu tanggal 7 Maret 2020. Dapat diketahui pula bahwa apabila dihitung dengan menerapkan penanggalan tahun Jawa, maka Bendara Raden Mas Herjuno Darpito yang kemudian memiliki nama-gelar Sri Sultan ke-10 genap bertakhta selama 32 tahun jatuh pada hari Selasa Wage, 29 Rejeb, Tahun Wawu 1953 atau tepatnya tanggal 24 Maret 2020.

Tari Golek Menak lakon Jayengrana Jumeneng Nata

Pameran Budaya Jawa Abalakuswa : Hadibusana Keraton Yogyakarta sendiri penyelenggaraannya ada di Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta, yang pada acara pembukaannya juga turut ditampilkan Fragmen Golek Menak dengan lakon ‘Jayengrana Jumeneng Nata” dan dapat disaksikan oleh masyarakat umum.

Sebagai informasi bahwa selain Beksan Lawung Ringgit, Beksan Golek Menak “Jayengrana Jumeneng Nata” ini ternyata adalah satu tari yang disarikan berdasar naskah Kraton Yogyakarta yang dulu dirampas dan dibawa oleh Raffles. Beksan tersebut merupakan satu dari 75 pembacaan naskah Hamengku Buwono I yang berhasil dibawa kembali pulang ke Jogjakarta, di mana masih ada lagi ratusan dan/atau bahkan ribuan naskah yang berada di British Library. ke-75 naskah tersebut dibawa pulang memang sebatas dalam bentuk digital, lantaran naskah aslinya masih belum berhasil diminta kembali.

Adapun jalan cerita dari Fragmen Golek Menak ‘Jayengrana Jumeneng Nata” ini mengisahkan seorang Amir Ambyah, yang merupakan putra dari Adipati Mekkah, Abdul Mutolib, dan merupakan nama kecil dari Tiyang Agung Jayengrana yang sangat nakal saat masih kecil. Memasuki masa remaja dan dewasa, Amir Ambyah memutuskan untuk mengembara didampingi oleh Umarmaya dan Maktal. Mereka mengembara dan menyebarkan agami suci, di mana saat pengembaraannya, dia menemukan peninggalan Nabi Iskak, yakni Kuda Kalisahak.

Sebagai sosok taat beragama dan memiliki cita-cita menyebarkan agama suci ke seluruh negeri, maka Amir Ambyah juga berhasil menaklukkan beberapa kerajaan, di antaranya termasuk kerajaan Kaos dan Koparman yang awalnya memiliki sikap menolak terhadap masuknya agama suci tersebut.

Ikhwal pembukaan Pameran Budaya Jawa ‘Abalakuswa’ : Hadibusana Keraton Yogyakarta yang merupakan Pameran Busana dan Peradaban di Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta ini dibuka langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Guna mengakses pameran, diberlakukan tiket masuk ke venue, yaitu sebear Rp5.000,- sedangkan mengenai waktu berlangsungnya pameran adalah sejak tanggal 8 Maret sampai dengan tanggal 4 April 2020, dengan waktu-kunjung dibuka setiap hari Senin hingga Minggu, dengan waktu kunjungan ada;ah sebagai berikut;

  • Senin-Kamis: 09.00-16.00 WIB
  • Jumat, Sabtu, Minggu pada pukul 09.00-21.00 WIB

Terkait dengan pameran tersebut, dipersembahkan pula beberapa acara, di antaranya adalah serangkaian workshop batik, berbusana Jawa, dan diskusi seputar tema terkait Busana dan Peradaban di Kraton Yogyakarta. Selain itu, digelar pula pementasan Beksan Trunojoyo, yaitu tepatnya pada tanggal 25 Maret, serta pertunjukan Wayang Wong Purwo pada tanggal 4 April 2020. Kedua gelaran ini juga terbuka untuk masyarakat umum, dengan syarat membeli tiket masuk ke venue pagelaran saja.

Beksan Golek Menak lakon Jayengrana Jumeneng Nata

Sambutan GKR Hayu di Pembukaan Pameran Budaya Jawa Abalakuswa

Gusti Kanjeng Ratu Hayu yang memiliki nama kecil Gusti Kanjeng Raden Ajeng Nurabra Juwita dan merupakan puteri ke-4 Ngersa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah sosok yang menjadi Ketua dari helatan Pameran Budaya Jawa Abalakuswa ini. Karenanya, dalam beberapa kesempatan beliau acap tampil terdepan, termasuk memberikan sambutan pada acara pembukaan pameran ini.

Dalam sambutannya, bagi GKR Hayu, Tingalan Jumenengan Dalem tahun 2020 ini juga menjadi moment guna merekam jejak peradaban di Keraton Yogyakarta, yang tidak saja terbatas pada catatan sejarah yang tertulis dalam serat, maupun babad. Lebih dari itu, melalui busana, mozaik peradaban dari Keraton Yogyakarta juga dapat disusun dan dinarasikan kembali sebagai kekayaan intelektual budaya. Hal-hal semacam inilah yang menjadikan dorongan bagi keraton untuk selalu dan terus-menerus memberikan dukungan pada gerakan merawat kekayaan intelektual leluhur melalui kegiatan simposium dan pameran.

Tema besar memang sengaja diusung seiring acara Mangayubagya Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X di tahun 2020 ini, yaitu “Busana dan Peradaban di Kraton Yogyakarta”. Dari tema yang besar tersebut kemudian diterjemahkan lagi menjadi Abalakuswa: Hadibusana Kraton Yogyakarta, yang selanjutnya diposisikan sebagai tajuk dalam
pameran.

GKR Hayu di Pembukaan Pameran Budaya Jawa 'Abalakuswa' Kraton Yogyakarta

Apa itu Abalakuswa dalam Pameran Busana dan Peradaban di Keraton Yogyakarta?

Abalakuswa yang menjadi tajuk pameran dalam memeriahkan Jumenengan Dalem ini memiliki arti rangkaian busana kebesaran. Tajuk Abalakuswa ini dipilih menjadi ruh dari pameran yang erat dengan rekam jejak kekuasaan.

Selain itu, Abalakuswa yang menyarikan perihal busana ini juga menjadi ruang ekspresi politik bagi setiap periode kekuasaan, di mana para pada suatu saat bangsawan pernah menggunakan busana sebagai penentu identitas dan strata sosial. Kondisi ini kerap ditemui di beberapa Dalem Pangeran pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI hingga VIII yang memiliki kreativitas luas dalam mengembangkan motif batik.

Di area Keraton sendiri, motif batik menjadi tanda kebesaran seorang raja, seperti  halnya batik Parang Rusak Barong yang cenderung baku dan bersifat stagnan. Sementara para Pangeran memberi nuansa lain pada motif parang, sehingga lahirlah beranega-ragam varian motif parang.

Kecuali perihal pakaian yang menjadi identitas dan kebesaran tersebut, dalam bidang seni pertunjukan, terdapat pula perubahan utama, yaitu pada pakaian tari. Pasalnya, pada saat menari dalam acara resmi, penari bedhaya mulanya berbusana dodot. Namun seiring berjalannya waktu, pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII, busana dodot tersebut berubah menjadi rompi dengan hiasan jamang dan bulu kasuari.

Berbagai ragam sejarah dan peristiwa yang berhasil terekam dalam guratan busana di Keraton Yogyakarta ini kembali dimunculkan dalam pameran busana pameran busana di tahun 2020 ini, termasuk di dalamnya adalah hadirnya busana kebesaran saat Sri Sultan Hamengku Buwono X dinobatkan sebagai Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dari ragam pameran yang dipresentasikan tersebut, harapannya adalah agar para pengunjung dapat melihat kembali sejarah panjang dari peradaban Keraton Yogyakarta, yang awal-mulanya berdiri di atas wilayah bernama Pacetokan. Di samping itu, harapan yang ada adalah masyarakat dapat menyelami identitas budaya khas Yogyakarta melalui rupa-rupa busana. []

4.7/5 - (8 votes)

4.7/5 - (8 votes)

Simak Pula Pawarta Tentang , Atau Adicara Menarik Lain Oleh Official Adm


Tentang Official Adm