Pawarta Adicara!

JARINGACARA sebagai media publikasi memiliki keinginan turut memberi warna dalam mengabarkan segala agenda acara seni budaya, pariwisata, warta, cuaca, juga menebarkan canda-tawa.
Perihal kontak kerjasama publikasi pun media partner, sila simak “Syarat dan Ketentuan“.

HIGHLIGHT
   
Ceramah Literasi JOGLITFEST 2019

Ceramah Literasi JOGLITFEST 2019 Membincang Peristiwa Seni Makna Sastra di Dunia Nyata dan Dunia Maya


Diwartakan oleh Rika Purwaka pada 30 September 2019   (3,465 Readers)

Ceramah Literasi JOGLITFEST 2019 menjadi agenda hari ke-3 yang merupakan kelanjutan dari Seminar sehari sebelumnya di acara Festival Sastra Yogyakarta pada tahun 2019. Jika pada hari kedua dihadirkan pembicara yang merupakan penulis terkenal lulus dari Fakultas Filsafat UGM; Eka Kurniawan, maka pembicara untuk hari ketiga adalah penggagas Pustaka Bergerak Indonesia, ialah Nirwan A. Artsuka.

Dalam rangkaian program Ceramah Literasi JOGLITFEST 2019 yang diadakan di Hotel Melia Purosani pada hari Minggu 29 September 2019, Nirwan A. Artsuka mengomentari berbagai peristiwa acara seni yang sering diadakan di Yogyakarta. Bahwa Yogyakarta itu bisa dikatakan sebagai salah satu kota di Indonesia yang relatif konsisten dalam mengadakan helatan festival seni.

“Yogyakarta mungkin bisa disebut sebagai kota di Indonesia yang relatif konsisten menegaskan maklumat Octavio Paz: kota yang paling ajeg menggelar ‘peristiwa seni’ sebagai aksi dan representasi kolektif,” kata Nirwan.

Pernyataan Nirwan tersebut disampaikan usai membaca sebuah makalah pendek yang ia tulis sendiri berjudul “The Storm Riders”.

Masih menurut Nirwan, acara-acara seni di Jogjakarta hadir dalam berbagai bentuk festival. Mulai dari Jogja Biennale hingga sampai di ARTJOG. Hal serupa, yaitu berujud acara seni itu juga hendak diangkat dalam dunia sastra, tidak lain adalah melalui Festival Sastra bertajuk JOGLITFEST ini.

“Sastra sebagai aksi kolektif sudah pernah diupayakan, jauh sebelum Joglitfest ini. Namun, baru kali ini ia bukan hanya menyatukan para seniman, pemerintah juga ambil bagian dalam penyelenggaraan,” papar Nirwan.

Bagi inisiator Pustaka Bergerak Indonesia, festival ini tidak hanya dilihat sebagai serangkaian pertunjukan dan pertunjukan. Selain itu, festival ini juga merupakan bagian dari proses panjang untuk memperkuat pengetahuan seni dan budaya, serta menjadi bidang independen untuk semua ekspresi kreatif. Oleh karena itu, festival harus mengandung kritik serta metode untuk emansipasi sosial.

Sikap optimis yang ditunjukkan oleh Nirwan tersebut bukan berarti anti-kritik. Karena baginya, disadari atau tidak, festival itu sendiri pada akhirnya akan menjadi peristiwa reguler. Oleh karena itu, bisa saja ia akan membawa risiko merusak aspek transformatif sebagai instrumen perubahan sosial. Terutama jika kita ingat, seberapa banyak festival telah tumbuh dan berkembang, tetapi justru tanpa manfaat yang jelas bagi manusia.

“Kita berhadapan dengan tantangan festivalisme yang tak menyakinkan sebagai gelanggang emansipasi sosial dan tak mengesankan sebagai medan penciptaan,” tambah Nirwan yang juga merupakan penulis buku Universe of Man tersebut.

Ceramah Literasi JOGLITFEST 2019

“Dinamika Sastra di Dunia Maya” dan “Makna Sastra di Dunia Nyata”

Usai kehadiran Nirwan A. Artsuka dalam Ceramah Literasi JOGLITFEST 2019, selanjutnya dihadirkan Nanang Suryadi dan Ahda Imran sebagai pembicara. Pada sessi kedua tersebut secara berbarengan dalam satu panggung digelar Seminar berjudul “Dinamika Sastra di Dunia Virtual” dan “Makna Sastra di Dunia Nyata”.

Mengawali pembicaraan terkait tema dalam Ceramah Literasi JOGLITFEST 2019 tersebut, Nanang Suryadi sebagai pemateri justru mempertanyakan perkembangan sastra yang jauh dari kemungkinan lain yang telah ditulisnya pada awal 2000-an. Yaitu saat dia, Saut Situmorang, dan beberapa teman lainnya membuat cybersastra.net. Dia menyatakan bahwa saat ini pengguna internet jauh lebih leluasa ketimbang waktu Nanang mengelola situs literasi tersebut. Termasuk dalam bersosial-media.

“Saat ini, media sosial banyak digunakan oleh para penulis sastra untuk memperluas jaringan antarpenulis, walaupun mereka tidak menampilkan karya-karya sastranya di sana,” ucapnya.

Keberadaan awal media sosial tersebut mampu meningkatkan minat buku fisik. Ini tentu menjadi pertanda baik, karena ia bisa merangsang dan dapat membuat industri buku cetak lebih ramai daripada ebook yang pernah dikhawatirkan dapat mengikis pasar buku konvensional.

“Di media sosial seperti Facebook banyak muncul grup-grup komunnitas sastra yang menampilkan karya-karya sastra dan selanjutnya dikumpulkan menjadi buku,” Nanang melanjutkan pemaparannya.

Menyambung materi pada Ceramah Literasi JOGLITFEST 2019 ini, Ahda Imran menjabarkan bahwa dunia maya, dunia virtual, ataupun dunia digital sebenarnya tetap menjadi bagian dari dunia nyata, dan bahkan saling mempengaruhi. Dengan begitu, ukuran baik-buruknya suatu karya memang bukan lagi merupakan satu persoalan yang harus ditanggapi secara serius.

Berlatarbelakang bukan sebuah masalah mengenai baik-buruknya satu karya di zaman digital ini, maka Ahda Imran menjadi menyayangkan, karena di dunia maya, karya sastra lebih diukur dari menarik atau tidaknya. Dia mengungkapkan bahwa dengan cara seperti ini, maka dunia maya masih sangat bisa dikatakan sebagai dunia yang mengutamakan kemasan. Itu menjadi perihal kedua yang patut disayangkan, terutama ketika kita ingat bahwa pada kenyataannya batas antara dunia maya dan dunia nyata sangat tipis. Bahkan hampir tidak ada.

Ketika dilihat dari sudut pandang berbeda, dunia digital sejatinya mampu membuat penulis dan pembaca tidak lagi berjarak dan berwatak misterius seperti dahulu-kala. Karenanya, dalam kondisi ini penulis dan pembaca dapat bertemu di platform media sosial dan kemudian dapat dengan mudah berinteraksi satu sama lain. Di satu sisi hal itu memberikan manfaat, karena penulis dapat memahami siapa pembaca dan bagaimana mereka merespons karyanya. Pun agi pembaca, mereka juga menjadi mengerti tentang penulis dari kisah-kisah yang ia baca. Hanya saja di sisi lain, tentu saja ada yang merasa tak diuntungkan, sebagai contoh adalah perihal privasi, baik bagi penulis maupun pembaca. Namun, terlepas dari berbagai pandangan yang ada, sebagaimana pemaparan Ahda Imran, ada nilai lebih berupa ‘personal-branding’ ataupun ‘self-labelling’ yang bisa dinikmati dari sana.

“Kehadiran penulis di media sosial dapat dipahami sebagai upaya membentuk brand perosonal,” Ahda Imran memungkasi pemaparannya. [rpw]

4.9/5 - (8 votes)

Simak Pula Pawarta Tentang , Atau Adicara Menarik Lain Oleh Rika Purwaka


Tentang Rika Purwaka