Pawarta Adicara!

JARINGACARA sebagai media publikasi memiliki keinginan turut memberi warna dalam mengabarkan segala agenda acara seni budaya, pariwisata, warta, cuaca, juga menebarkan canda-tawa.
Perihal kontak kerjasama publikasi pun media partner, sila simak “Syarat dan Ketentuan“.

4.7/5 - (8 votes)
HIGHLIGHT
   
Seminar JOGLITFEST 2019 Oleh Eka Kurniawan

Seminar JOGLITFEST 2019 Oleh Eka Kurniawan Mengangkat Tema Global dan Lokal dalam Sastra


Diwartakan oleh Rika Purwaka pada 30 September 2019   (3,760 Readers)

Seminar JOGLITFEST 2019 menjadi salah satu rangkaian program yang digelar pada hari ke-2 dan juga hari ke-3 di helatan Festifal Sastra Yogyakarta menemani program-program lain yang digelar dengan tempat berbeda.

Selain Seminar JOGLITFEST 2019, pada hari kedua penyelenggaraan Festival Sastra Yogyakarta JOGLITFEST tahun 2019 digelar pula pameran Manuskrip yang bertempat di UIN Sunan Kalijaga. Ada pula Seminar Sastra Milenial di MAN 2 Yogyakarta dan MTSN 9 Wonocatur Bantul. Sementara itu, di area Benteng Vredeburg sebagai venue utama, agendanya juga cukup padat. Di antaranya seperti Pasar Sastra, Dikusi Buku, Workshop Sastra Jawa, Panggung Sastra, dan juga Sastrawan Membaca.

Ikhwal Seminar JOGLITFEST 2019 sendiri, ia digelar di Hotel Melia Purosani mendampingi rangkaian program bertajuk Ceramah Literasi dan Seminar Sastra. Pematerinya adalah novelis Indonesia yang berlatar-belakang pendidikan di Jogja dan telah meraih kesuksesan dari profesi menulisanya. Ialah si ‘Catik itu Luka’ – Eka Kurniawan.

Pada program Seminar JOGLITFEST 2019, penulis Eka Kurniawan memberikan Ceramah Literasi dengan tajuk “Yogyakarta dalam Konstelasi Sastra Global-Lokal”.

Dalam Ceramah Literasi yang dipandu Tia Setiadi tersebut, Eka Kurniawan menyatakan bahwa persilangan dan persinggungan antarkarya sastra adalah sebuah keniscayaan. Karena bagi Eka, pertemuan tersebut bukan lagi merupakan hal baru.

Seminar JOGLITFEST 2019 Oleh Eka Kurniawan

“Hal tersebut merupakan sesuatu yang alamiah, yang lahir bersamaan dengan sejarah kesusastraan itu sendiri,” ujar Eka Kurniawan.

Hal yang menarik dari program Cerama Literasi ialah diskusi yang mencoba menelisik lebih jauh saling-silang interaksi dalam karya sastra Indonesia maupun karya dari luar negeri.

“Dalam cerita silat S.H. Mintardja, kita bisa menemukan tradisi novel wuxia dari China atau petualangan ala ksatria Eropa abad pertengahan, sebagaimana bisa memukan persinggungan kisah ronin Jepang,” ucap Eka Kurniawan yang juga merupakan alumnus Filsafat UGM ini.

Tentu saja saling-silang tersebut tidak sebatas diadopsi secara mentah. Lain dari itu, karya itu harus juga disesuaikan dengan konteks yang berbeda, sehingga dapat dikatakan sebagai karya baru.

Eka mengungkapkan bahwa persinggungan antarkesusastraan sudah terhubung berabad-abad lamanya, yaitu jauh sebelum era internet ditemukan dan bahkan saat era jejaring teks diciptakan oleh hyperlinks.

“Meskipun lebih bersifat tak langsung, satu karya terhubung dengan karya lain melintasi batas-batas teritorial kebudayaan yang menciptakan dan bahasanya,” Eka Kurniawan menambahkan.

Saling-silang kesusastraan yang ada bukan lantas tiada risiko. Pasalnya, hal tersebut justru juga menimbulkan campur-baur bahan-bahan cerita dalam karya sastra. Dalam beberapa cerita, kisah tentang anak yang jatuh cinta kepada ibunya muncul di banyak legenda. Namun, kenyataannya keadaan lingkungan dan kebudayaan bisa membuat cerita tersebut termodifikasi secara unik.

Hanya saja, meski nampak unik, akses terhadap karya sastra itu masih selalu mengandalkan bahasa Inggris sebagai jembatan penerjemahan pertama. Sejatinya ini sangat bisa dipahami, yaitu lantaran efek yang ditimbulkan akibat kolonialisme Inggris yang hampir menancapkan kekuasaan di banyak negara. Ini artinya, karya sastra itu bukan hanya sekadar berbicara  perihal kebudayaan yang diceritakan, namun ;ebih dari itu, ia juga menjadi medium penaklukan ataupun kolonialisme.

“Selalu ada kepentingan politik dan ekonomi dalam jejaring seperti itu hingga hubungan tersebut menjadi dominasi-mendominasi,” kata Eka.

Melihat kenyataan perihal bahasa Inggris yang menjadi jembatan penerjemahan pertama tersebut, tak pelak dalam memandang kesusastraan global di dunia ini, serupa dengan pembaca bahasa Inggris dalam memandang kesusastraan. Kalimat itu sebagaimana yang dipaparkan langsung oleh Eka Kurniawan, “Dunia, pada akhirnya memandang kesusastraan global nyaris persis seperti pembaca Inggris memandang kesusastraan.”

Karena, hal ini membuat bila ingin dikenal dunia harus diterjemahkan dalam bahasa Inggris lebih dulu. “Kita bisa lihat kasus tersebut pada karya-karya Haruki Murami. Kita mengenal Murakami setelah ia diterjemahkan dalam bahasa Inggris,” papar Eka.

Bukan tanpa alasan Eka memaparkan hal di atas. Pasalnya ia mengalami sendiri bahwa karya-karyanya juga bernasib senada yang diungkapkannya. Sebagai contoh, yaitu bahwa “Lelaki Harimau” pertama kali diterjemahkan juga ke dalam bahasa Inggris, yang kemudian disusul dengan karya-karyanya yang lain, satu persatu mengalami perlikau serupa, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, baru kemudian dialih-bahasakan ke dalam berbagai bahasa di beberapa negara.

Pun yang terjadi dengan karya-karya sebelumnya, di Amerika Latin sebut saja karya Gabriel Garcia Marquez dan Jorge Luis Borges yang pertama kali diketahui oleh pembaca Indonesia tak lain adalah juga dari karya berbahasa Inggris. [rpw]

4.7/5 - (8 votes)

4.7/5 - (8 votes)

Simak Pula Pawarta Tentang , Atau Adicara Menarik Lain Oleh Rika Purwaka


Tentang Rika Purwaka

BACA JUGA:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *