Pawarta Adicara!

JARINGACARA sebagai media publikasi memiliki keinginan turut memberi warna dalam mengabarkan segala agenda acara seni budaya, pariwisata, warta, cuaca, juga menebarkan canda-tawa.
Perihal kontak kerjasama publikasi pun media partner, sila simak “Syarat dan Ketentuan“.

4.9/5 - (7 votes)
HIGHLIGHT
   
TAJRIANI THALIB | Seniman Indonesia di Biennale Jogja XV EQUATOR #5 2019 [Part 2]

Inilah 15 dari 30 Nama Kelompok Seni dan Seniman Indonesia di Biennale Jogja XV EQUATOR #5 2019 [Part 2]


Diwartakan oleh Official Adm pada 16 Oktober 2019   (11,437 Readers)

Terhitung ada sejumlah 30 nama kelompok seni dan atau seniman Indonesia di Biennale Jogja XV EQUATOR #5 tahun 2019 ini. Mereka mendampingi 10 seniman pun kelompok seni yang dihadirkan dari negara tetangga, sekawasan Asia Tenggara.

15 dari 30 nama kelompok seni dan seniman Indonesia di Biennale Jogja XV #5 tahun 2019 telah bisa disimak pada laman sebelumnya, yaitu di tautan berikut ini (sila klik link). Selanjutnya di bawah ini adalah 15 nama sebagai kelengkapan dari sejumlah 30 nama seniman dan atau kelompok seni tersebut.

  • MADE BAYAK | Bali

I MADE BAYAKMade Bayak menempuh pendidikan seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Saat ini ia tinggal dan bekerja di Bali. Bayak dikenal dengan proyek Plasticology yang mengolah sampah-sampah menjadi instalasi seni. Dengan Plasticology, Bayak telah banyak melakukanpresentasi publik dan lokakarya di berbagai tempat, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Bayak juga ikut serta dalam berbagai gelaran seni, misalnya, dalam Bruised: Art Action and Ecology in Asia, RMIT Gallery, Melbourne (2019), Kuasa Ingatan, Festival Arsip IVAA, PKKH UGM, Yogyakarta (2017), Encounter, Southeast Asia Plus (SEA+) Triennale, Galeri Nasional (2016), dan program residensi Uncensored, ruangrupa, Jakarta (2004).

Sebagai salah satu seniman Indonesia di Biennale Jogja XV tahun 2019 ini, Bayak membawa satu isu yang telah lama ia tekuni. Yaitu persoalan sampah plastik. Analogi simbol dan bangun piramid dari sampah plastik itu menjadi jejak dan simbol peninggalan manusia hari ini. Dari sampah yang terkecil, baik yang dihasilkan oleh individu, kemudian berkembang menjadi sampah keluarga, komunitas dalam suatu desa, hingga membentuk kumpulan yang lebih besar seperti suatu wilayah kabupaten kota atau provinsi, dan demikian selanjutnya sehingga semua menjadi masalah yang jauh lebih besar (secara global).

Semua menginginkan wilayahnya masing-masing bersih dari sampah tetapi dengan mengotori wilayah lain karena tidak ada yang mau mengeluarkan biaya untuk mencari solusi masalah lingkungan ini.

MELIANTHA MULIAWAN | Seniman Indonesia di Biennale Jogja XV EQUATOR #5

  • MELIANTHA MULIAWAN | Jogjakarta

Meliantha Muliawan atau akrab disapa Meli adalah seniman yang terlahir pada tahun 1992 di Pontianak. Meli menyelesaikan studi seni rupa di Institut Teknologi Bandung, namun saat ini ia justru tinggal dan berdomisili di Yogyakarta.

Setahun setelah lulus, Meli mulai aktif mengeksplorasi resin sebagai medium berkarya. Ia menggunakan resin sebagai strategi puitis untuk mengawetkan, menampilkan, dan menyembunyikan objek karyanya. Praktik artistiknya berangkat dari pengamatannya atas relasi antara manusia dengan benda-benda sehari-hari. Pada tahun 2017, Meli melakukan residensi di REDBASE dan menggelar pameran tunggal dengan judul Transclusent. Meli juga mendapat penghargaan sebagai Top 3 Finalist of ‘Young Artist Award’ di Enlightment ARTJOG 11 dengan karya berjudul Vague Shapes in the Light di tahun 2018.

Meli mengangkat gagasan tentang kartu pos sebagai benda yang diabaikan. Gagasan ini berangkat dari pengalamannya ketika sedang berlibur. Ia melihat bahwa kartu pos tidak lagi berfungsi seperti sebelumnya. Saat ini, sebagian besar pembeli kartu pos biasanya merupakan kolektor. Sangat jarang menemukan orang yang membeli kartu pos untuk berkirim surat.

Berangkat dari hal tersebut, Meli mulai mengumpulkan kartu pos selama dua bulan. Kartu-kartu pos ini akan ia keraskan dengan resin dan dicat ulang sesuai dengan gambar aslinya. Meli akan melipat dan menutup tepat di point of view atau objek-objek pada kartu pos. Nantinya pengunjung yang datang jadi harus menebak visual apa yang direpresentasikan di setiap kartu pos tersebut. Yang menarik adalah proses menebak ini juga menjadi cara untuk melihat sejauh mana pengetahuan dan empati orang-orang mengenai tempat-tempat wisata di Indonesia.

  • MOELYONO | Tulungagung

MOELYONOMoelyono tinggal dan bekerja di Tulungagung. Ia yang merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini juga dikenal luas dengan julukan Guru Gambar terkait praktik seni rupa penyadaran yang dilakukannya secara kolaboratif dengan masyarakat. Dalam aktivitas-aktivitas berkeseniannya bersama masyarakat, Moelyono banyak menyentuh isu-isu sosial dan politik yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Praktik-praktik seni rupa penyadaran Moelyono ini telah tercatat dalam buku “Moelyono: Seni Rupa Penyadaran” (1997) yang diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya dan “Moelyono: Pak Moel Guru Gambar” (2007) yang diterbitkan oleh INSIST.

Moelyono telah berpartisipasi dalam banyak gelaran seni, antara lain: Beyond the Future, The Third Asia-Pacific Triennale of Contemporary Art (1999), SIASAT, Jakarta Biennale (2013), Sunshower: Contemporary Art from Southeast Asia 1980s to Now (2017), dan Beyond Bliss, Bangkok Art Biennale (2018). Pameran tunggal terbarunya berjudul Amok Tanah Jawa berlangsung di Flinders Museum, Adelaide, tahun 2018. Atas praktik-praktik berkeseniannya, Moelyono telah mendapatkan berbagai penghargaan, misalnya, Anugerah Seni (2014) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

Sekira 20 tahun yang silam, Moelyono membuat sebuah karya tentang Marsinah dan sedianya dipamerkan secara lengkap di Surabaya. Sayangnya, rencana itu urung terlaksana karena dibubarkan aparat. Setelahnya, karya Marsinah dipamerkan di beberapa tempat dengan bentuk interpretasi dan penyajian yang berbeda-beda.

Marsinah telah meninggal lebih dari dua dekade lalu, tetapi semangatnya abadi. Dia adalah simbol perjuangan buruh. Berbagai kebijakan yang menguntungkan buruh saat ini juga tidak lepas dari andil Marsinah.

Moelyono sebagai salah satu Seniman Indonesia di Biennale Jogja XV ini berencana “menghidupkan” Marsinah kembali. Dia hendak menyoroti dua hal: pertama, Marsinah sebagai simbol perjuangan yang tidak pernah selesai, sebagai monument. Kedua, mengingat ulang bagaimana rezim Orba memperlakukan Marsinah secara tidak manusiawi: dibunuh dengan cara yang sangat kejam.

  • MUHLIS LUGIS | Makassar

MUHLIS LUGISMuhlis Lugis adalah seniman yang tinggal dan bekerja di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Setelah menamatkan studi di Program Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Makassar tahun 2011, ia kemudian merantau ke Kota Yogyakarta untuk melanjutkan studi pasca-sarjana di ISI Yogyakarta dengan bidang konsentrasi penciptaan seni grafis. Saat ini, Muhlis tercatat sebagai dosen di Jurusan Seni Rupa, Universitas Negeri Makassar.

Muhlis mulai dikenal di dalam skena seni rupa Indonesia setelah berhasil menjadi pemenang ketiga dalam Triennale Seni Grafis Indonesia V yang diselenggarakan oleh Bentara Budaya Jakarta. Di samping itu, ia juga aktif di berbagai jenis perhelatan pameran dan art fair, di antaranya adalah; LIU&LUGIS Hallway Exhibition, Ludo Gallery, Singapura (2015), Makassar Biennale (2015 dan 2017), Young Art Taipei, Taiwan (2016), ASIA CONTEMPORARY ART SHOW, Hongkong (2016), Pekan Seni Grafis Yogyakarta (2017), dan lain sebagainya.

Sebagai salah satu Seniman Indonesia di Biennale Jogja XV tahun ini, Muhlis mengeksplorasi cerita tentang To Balo (orang belang) yang mendiami sebuah kawasan terpencil di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Komunitas ini hanya berjumlah 9 orang dan semuanya berkulit belang. Masyarakat Sulawesi Selatan percaya bahwa tubuh mereka menjadi belang karena kutukan dan selalu berjumlah ganjil. Satu kelahiran bisa berarti kematian bagi salah satu warganya. Jumlah populasinya diyakini tidak akan pernah genap. Muhlis akan membalik narasi tentang To Balo, mengangkat kembali posisi mereka sebagai keturunan dari orang-orang yang pernah membantu kerajaan setempat, alih-alih mengafirmasi pandangan umum tentang mereka sebagai orang-orang yang dikutuk.

  • NASIRUN | Jogjakarta

Nasirun adalah lulusan ISI Yogyakarta pada tahun 1994 yang hingga kini tinggal dan bekerja di Yogyakarta, dan merupakan sosok seniman dengan rekam jejak panjang dalam dunia seni rupa.

NASIRUNNasirun ikut serta dalam berbagai perhelatan seni rupa, misalnya, The (Un)Real, Galeri Nasional, Jakarta (2008), Biennale Jogja X – Jogja Jamming, Taman Budaya Yogyakarta (2009), Crouching Tiger and Hidden Dragon, Artspace Galleries, London (2011), Singapore Biennale, SAM, Singapura (2013), Diverse: 4 Indonesian Position, Gallery Suppan Contemporary, Vienna (2016), dan lain-lain.

Nasirun juga telah banyak berpsmeran tunggal, yang antara lain adalah: Uwuh Seni, Galeri Salihara, Jakarta (2012) dan Nasirun di Museum Narta: Carangan, NuArt Sculpture Park, Bandung (2016). Ia adalah peraih Phillip Morris Indonesia Art Awards pada tahun 1997.

Nasirun mengangkat narasi tentang lukisan Sokaraja yang banyak diperdagangkan di daerah Sokaraja, Cilacap, Banyumas, Purbalingga, hingga Bandung. Dia membeli sejumlah lukisan Sokaraja lalu kemudian meresponsnya. Lukisan Sokaraja termasuk jenis lukisan yang biasanya dipajang untuk kepentingan dekorasi di dalam rumah. Jenis lukisan semacam ini cukup banyak ditemukan di berbagai daerah, di jual di pinggir-pinggir jalan atau dipasarkan dari rumah ke rumah. Ada berbagai jenis sebutan untuk lukisan semacam ini, yakni lukisan Terang Bulan, lukisan Malang, atau sebutan yang paling populer, lukisan Girlan (pinggir jalan).

Sebagaimana galibnya lukisan Girlan yang lain, lukisan Sokaraja tidak pernah diperhitungkan di dalam sejarah seni rupa Indonesia. Saat ini pun, pelukis-pelukis Sokaraja semakin terdesak, lapak-lapak jualannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Menjadi salah satu seniman Indonesia di Biennale Jogja XV, Nasirun mengajak kita untuk melihat kembali salah satu kepingan penting dalam seni rupa Indonesia, lukisan-lukisan Girlan yang sangat dekat dan paling dikenali oleh masyarakat umum.

  • KELOMPOK PENDULUM | Jogjakarta

PENDULUMPendulum merupakan kolektif yang dimulai di tahun 2018, dengan anggotanya adalah beberapa mahasiswa pascasarjana Kajian Budaya Media UGM. Kolektif ini dibuat untuk mengakomodasi mereka yang tidak mendapatkan tempat dalam menyuarakan gagasan-gagasannya di kelas. Beranggotakan 8 orang, mula-mula Pendulum berangkat sebagai ruang belajar bersama dari berbagai disiplin ilmu, seperti seni fotografi, seni rupa dan musik, penelitian literasi, hingga sastra. Dari yang awalnya melakukan diskusi mingguan, mereka kemudian menginisiasi situs pendulum.id untuk menuangkan hasil-hasil riset yang sudah dilakukan.

Pendulum mengangkat persoalan ruang marjinal yang kerap luput dari pengamatan kita. Para pekerja di pusat-pusat perbelanjaan, bioskop atau ruang-ruang nongkrong seperti petugas kebersihan maupun penjaga toko, acap kali tidak mendapatkan ruang istirahat yang layak di tempat kerjanya. Pendulum merespons situasi tersebut, menunjukkan situasi-situasi marginal yang dialami oleh para pekerja di dalam ruang-ruangnya.

Dalam karyanya, Pendulum menyodorkan intervensi dalam bentuk bean bag, yang secara simbolis menyiratkan bagaimana para pekerja itu hendaknya dimanusiakan, untuk mengisi absennya tempat istirahat yang layak di ruang kerja. Produk akhir dari proyek ini adalah karya fotografi.

  • POPOK TRI WAHYUDI | Jogjakarta

POPOK TRI WAHYUDIPopok Tri Wahyudi merupakan seniman yang menilai bahwa hidup di area yang dilintasi garis khatulistiwa merupakan sebuah keuntungan. Garis imajiner tersebut seolah-olah membuat wilayah yang dilintasinya berada di tengah-tengah, wilayah pusat. Oleh karena itu, Popok memasalahkan kesan bahwa kita berada di wilayah pinggiran.

Melalui karyanya, Popok membicarakan tentang keterhubungan antara wilayah-wilayah di Asia Tenggara yang ada di garis khatulistiwa. Dia berpijak dari falsafah Jawa; sedulur papat limo pancer, yang kurang lebih berarti “empat saudara menjadi lima sebagai pusatnya”. Dalam kepercayaan Jawa, setiap manusia mempunyai empat saudara spiritual, dan limo pancer mengasosiasikan manusia sebagai pusatnya atau pengontrol.

  • RATU R. SARASWATI | Jakarta

Ratu Rizkitasari Saraswati adalah seniman yang juga akrab dipanggil sebagai Saras. Ia merupakan lulusan dari Studio Grafis, Institut Teknologi Bandung.

RATU R. SARASWATISaras banyak berkarya dengan medium performance, sehingga iapun ikut serta dalam banyak gelaran seni, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Keaktifan Saras dalam berkesenian itu di antaranya adalah berpartisipasi dalam Exi(s)t #2: Instruksi, Dia.Lo.Gue Artspace, Jakarta (2013), Manifesto No. 4: Keseharian, Galeri Nasional, Jakarta (2014), Tracing, Saigon Domaine, Ho Chi Minh City, Vitenam (2015), dan JIWA: Jakarta Biennale 2017, Museum Sejarah Jakarta (2017).

Optik-Optik Kecil (2019) dan Laif (2013) adalah pameran dan performance tunggalnya. Saras juga ikut dalam beberapa program residensi, antara lain, Sàn Art Laboratory Session 7, Sàn Art, Ho Chi Minh City, Vietnam (2015) dan Rijksakademie van beeldende kunsten, Amsterdam di tahun 2020 nanti.

Ratu Rizkitasari Saraswati sempat melakukan sebuah pengamatan tentang pengalaman spiritual melalui ritual doa di tempat-tempat tertentu untuk meminta jawaban dari keputusasaan dan barokah. Melalui pengalaman tersebut, manusia atau subjek tengah menempatkan sesuatu yang material sebagai manifestasi dari yang Ilahiyah–baik sebagai representasi maupun perantara antara dirinya dengan Ilahi (yang sifatnya immaterial). Seringkali, manusia membutuhkan sebuah perantara material untuk menghubungkan dirinya dengan Ilahi. Hal tersebut dikarenakan pengalaman ketubuhan serta sesuatu yang material, sifatnya lebih terukur dan nyata bagi manusia.

Gagasan tersebut diterjemahkan oleh Saras melalui karyanya. Bahwa di dalam karyanya, Ratu memilih untuk menggunakan panas tubuh yang tercipta dari persentuhan antara tubuh manusia dengan kulit kambing yang telah disamak bersih yang bersifat translucent. Panas tubuh (seniman dan juga partisipan) akan hadir pada material kulit kambing tersebut setelah persentuhan terjadi. Diharapkan, terjadi sebuah pertukaran panas tubuh yang tentunya memiliki perbedaan di tiap-tiap partisipan.

  • M RIDWAN ALIMUDDIN | Sulawesi Barat

RIDWAN ALIMUDDINMuhammad Ridwan Alimuddin atau biasa dipanggil dengan Iwan berasal dari Mandar, Sulawesi Barat. Iwan adalah seorang penulis, fotografer, jurnalis, fixer film dokumenter, dan pustakawan. Ia banyak terlibat dalam proyek-proyek penulisan buku dan dokumenter, khususnya dengan tema-tema tentang kehidupan di wilayah pesisir. Beberapa proyek yang dikerjakannya antara lain, sebagai periset dalam dokumenter Briliant Season of Flying Fish, Part I: In Search of Flying Fish Eggs (2008) serta sebagai salah seorang penulis dalam buku Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara, Antara Kolonial dan Poskolonial. Selain itu, Iwan juga aktif dalam gerakan literasi di wilayahnya. Salah satunya dengan mendirikan Nusa Pustaka, sebuah perpustakaan komunitas di daerah pesisir Sulawesi Barat.

Ridwan berkolaborasi dengan kelompok TacTic Plastic, menghadirkan sebuah karya instalasi yang berusaha merespons persoalan di Desa Pambusuang, Sulawesi Barat. Di desa itu, sampah merupakan sebuah persoalan yang terlampau pelik. Sangat kontras jika diperhadapkan dengan sistem kepercayaan masyarakat terhadap laut. Di satu sisi, masyarakat Pambusuang sangat mengagungkan laut tempat mereka mencari penghidupan, percaya pada berbagai jenis mitos mengenai laut–sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya mereka taklukkan. Akan tetapi di sisi lain, mereka juga gemar membuang sampah di laut. Selain faktor kebiasaan, jarak TPA yang terlampau jauh dari area pemukiman warga juga menjadi masalah sendiri.

Ridwan menghubungkan persoalan sampah plastik dengan salah satu tradisi tahunan masyarakat setempat: perburuan telur ikan terbang. Ridwan menghadirkan instalasi alat jemuran ikan terbang lengkap dengan telur ikan terbang yang layak konsumsi dan yang telah bercampur dengan mikro-plastik.

  • SUVI WAHYUDIANTO | Madura/Jogjakarta

SUVI WAHYUDIANTOSuvi Wahyudianto adalah seniman lulusan dari Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya. Saat ini, Suvi berdomisili di Yogyakarta. Suvi ikut serta dalam berbagai pameran, antara lain Sea Focus, UOB Plaza, Singapura, Pameran Besar Seni Rupa 6, Kota Batu, dan Manifesto 6, Galeri Nasional, Jakarta (2018). Dia juga meraih beberapa penghargaan, salah satunya sebagai pemenang UOB Painting of the Year Southeast Asia, Singapura (2018).

Karya-karya Suvi berangkat dari pengalaman atau memori personalnya serta dari pengamatannya tentang kaitan antara realitas sehari-hari dan peristiwa sejarah di baliknya.

Suvi adalah salah satu seniman yang mengikuti program Residensi Kelana Sungai di Pontianak, Kalimantan Barat. Meskipun demikian, Suvi menyempatkan diri untuk menjangkau beberapa lokasi di luar Pontianak, salah satunya Sambas. Sebagai seorang Madura, perjalanan itu adalah perjalanan yang emosional sekaligus beresiko untuk Suvi. Pasalnya, 20 tahun yang lalu, saat konflik etnis pecah di sebagian kawasan Kalimantan, Sambas termasuk wilayah yang paling terdampak. Sebagai akibat dari konflik itu, muncul sebuah aturan di Sambas yang tidak membolehkan orang-orang dari etnis Madura untuk masuk ke kawasan itu.

Melalui karyanya, Suvi tidak hanya menghadirkan pengalaman perjalanannya selama di sana, tetapi juga pembacaan-pembacaan dari hasil interaksinya di sana, baik dengan orang-orang Madura yang telah direlokasi di luar Sambas maupun dengan orang-orang dari etnis Melayu dan Dayak. Di antara mereka ada yang mengalami langsung konflik itu, ada pula yang sekadar mewarisi cerita-ceritanya. Suvi mengajak kita kembali menengok ke belakang sembari mengingatkan bahwa perang hanya akan menyisakan kesedihan, kehilangan, luka, dan duka.

TAJRIANI THALIB

  • TAJRIANI THALIB | Sulaawesi Barat

Tajriani Thalib mendapatkan gelar sarjananya dari Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar. Tajriani tinggal dan bekerja di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia aktif sebagai penampil, khususnya dalam pertunjukkan-pertunjukkan seni tradisi. Tajriani tampil, antara lain, dalam Wonderful Indonesia Festival, Bangkok, Thailand (2017) dan The 3rd Erau International Folks Arts Festival (EIFAF), Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur (2013). Dia juga banyak terlibat dalam proyek-proyek sosial, misalnya bersama Komunitas Sipatokkong yang fokus melakukan pendampingan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus serta bersama Armada Pustaka Mandar, komunitas pustaka bergerak yang menghadirkan bacaan ke berbagai daerah di Sulawesi Barat.

Tajriani adalah satu dari tiga seniman yang mengikuti program Residensi Kelana Sungai dan Rimpang Nusantara di Kalimantan Barat. Selama proses residensinya, Tajriani melakukan penelitian mengenai kisah dewi padi di dalam sistem kepercayaan masyarakat Dayak. Kisah serupa dapat kita temukan di berbagai tempat di nusantara, termasuk di wilayah Mandar, dan setiap wilayah mempunyai jenis cerita atau langgam tuturan yang berbeda-beda.

Tajriani mengisahkan ulang cerita tentang dewi padi dalam bentuk nyanyian, mengombinasikannya dengan langgam tuturan ala Mandar: toloq. Toloq, di dalam masyarakat Mandar, adalah seni tutur untuk menceritakan sebuah kisah. Prinsip dari toloq Mandar kemudian dia gunakan untuk menceritakan kembali kisah asal-muasal padi menurut masyarakat Dayak.

  • TAMARRA PERTAMINA | Jogjakarta

TAMARRA PERTAMINA | Seniman Indonesia di Biennale Jogja XV EQUATOR #5Tamarra Pertamina tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Sebagai seniman, Tamarra berkarya dengan berbagai medium, antara lain performans dan tekstil. Tamarra ikut serta dalam berbagai kegiatan kesenian, di Indonesia maupun di luar negeri. Tamarra, misalnya, ikut serta dalam M/Others and Future Humans, Testing Ground, Melbourne (2018), Unsung Museum, di Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung (2016-2017), Ancient MSG, Gertrude Glasshouse, Melbourne (2015), dan sebagainya.

Tamarra juga aktif melakukan berbagai riset dan proyek, khususnya terkait dengan isu-isu transgender. Misalnya di tahun 2019, ia melakukan penelitian kolaboratif dengan Emma Franklin tentang komunitas Bissu di Sulawesi Selatan.

Tamarra juga mengembangkan We Are Human, sebuah proyek berbasis komunitas anak jalanan dan transgender. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan We Are Human sangat beragam, di antaranya, mengadakan lokakarya kerajinan tangan dan menginisiasi kelompok penyanyi transgender yang dinamakan Amuba.

Dalam empat tahun belakangan ini, Tamarra intens melakukan penelitian tentang komunitas Bissu, komunitas yang menjadi pemimpin spiritual dalam sistem kepercayaan masyarakat Bugis tradisional di Sulawesi Selatan. Bissu adalah satu dari lima sistem gender yang ada di dalam kepercayaan Bugis tradisional. Namun, alih-alih membicarakan soal sistem gender, Tamarra justru berfokus pada pengalaman perjalanannya–dia sebagai subjek yang tengah melakukan perjalanan atau ziarah. Dengan kata lain, Tamarra memosisikan dirinya tengah melakukan “perjalanan spiritual” untuk bertemu dengan komunitas Bissu.

Sebagai salah satu seniman Indonesia di Biennale Jogja XV tahun 2019 ini,  Tamarra akan menampilkan karya yang memberi gambaran perihal kehidupan spiritual komunitas Bissu serta aneka persoalan yang mereka hadapi, baik yang berlangsung di masa lalu maupun saat ini.

  • WISNU AJITAMA | Jogjakarta

WISNU AJITAMA | Seniman Indonesia di Biennale Jogja XV EQUATOR #5Wisnu Ajitama lulus dari Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta (2016). Wisnu sedang melanjutkan studi pascasarjana Penciptaan Seni Murni di Institut Seni Indonesia.

Berangkat dari hobi naik gunung dan susur gua, karya-karyanya membicarakan isu sosial yang berkaitan dengan hubungan alam dan manusia. Ia merespon material yang ada di alam, seperti akar dan tumbuhan, untuk diolah kembali menjadi instalasi berukuran besar. Wisnu berkarya di ruang-ruang tersembunyi (seperti: hutan, gunung, dan sungai yang minim aktivitas manusia) dan ruang publik.

Pada pengerjaan setiap karya, ia merespon falsafah setiap lokasi dan melibatkan kerja sama masyarakat setempat. Beberapa karya Wisnu dapat ditemukan di Gunung Pengger (Dlingo, Bantul) dan di Gunung Watu Payung (Gunung Kidul). Di tahun 2018, Wisnu terlibat dalam Geumgang Nature Art Biennale dan Nature Art Cube (2018) di Korea Selatan. Ia juga menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta bertajuk Environmental Art-LENG di tahun yang sama.

Berbeda dengan material yang digunakan pada karya-karya sebelumnya; akar dan tumbuhan, pada karya ini Wisnu merespons tripleks bekas untuk menyampaikan gagasan tentang pinggiran. Menurut Wisnu, tripleks sangat dekat dan lekat dengan orang-orang pinggiran yang menggunakan material tersebut untuk membangun tempat tinggal. Melalui material itu, Wisnu membuat konstruksi karya menyerupai usus dua belas jari dengan gaya pajang (display) untuk merespons ruang galeri.

Usus dua belas jari tersebut dimaksudkan sebagai representasi dari orang-orang pinggiran yang tidak mampu lagi menggunakan pikiran untuk menghadapi cepatnya laju kemajuan zamant. Bagi orang pinggiran, usus dalam perutlah yang digunakan untuk berpikir. Artinya, yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana cara memenuhi kebutuhan untuk makan.

  • YENNU ARIENDRA | Jogjakarta

YENNU ARIENDRA | Seniman Indonesia di Biennale Jogja XV EQUATOR #5Sebagai salah satu Seniman Indonesia di Biennale Jogja XV ini, proyek yang dikerjakan oleh Yennu Ariendra boleh dikatakan masih terkait erat dengan proyek-proyek yang pernah ia garap sebelumnya. Yaitu bahwa ia beranjak dari pengamatannya terhadap berbagai bentuk perlawanan simbolik masyarakat akar rumput di daerah Jawa.

Dimulai dari cerita tentang Raja Kirik, yang mengadopsi kesenian Jaranan Buto di Banyuwangi, Jawa Timur, lalu kemudian ekspresi musik akar rumput lewat dangdut koplo, dan terakhir Gruduk Merapi, ekspresi kesenian yang diinisiasi oleh warga lokal Ndeles, Klaten, Jawa Tengah. Melalui ketiga fragmen tersebut, Yennu mengajak kita untuk melihat berbagai bentuk perlawanan melalui ekspresi-ekspresi kesenian.

Di dalam kisah Raja Kirik, kita dapat melihat bagaimana orang Osing (sebutan untuk masyarakat Banyuwangi) membentuk sebuah narasi tandingan atas kisah Menak Jingga. Sementara pada fragmen kedua, dangdut koplo, musik dangdut yang lahir untuk memecah kebekuan dangdut klasik. Dan pada fragmen ketiga, Gruduk Merapi, digunakan oleh warga Ndeles untuk merespons pertambangan pasir yang berlangsung di wilayah mereka.

  • YOSEFA AULIA | Bandung

YOSEFA AULIA | Seniman Indonesia di Biennale Jogja XV EQUATOR #5Yosefa Aulia adalah seniman yang tinggal dan bekerja di Bandung. Yosefa mendapatkan gelar sarjananya dari Institut Teknologi Bandung dengan konsentrasi studio patung. Yosefa berkarya menggunakan berbagai medium. Dia tergabung dalam beberapa pameran bersama dan art fair, antara lain Open P.O, Art Jakarta, JCC Senayan, Jakarta (2019), Made Of: Stories of Material, Galeri Lorong berkolaborasi dengan Arcolabs Indonesia, Yogyakarta (2018), Bandung Drawing Festival, NuArt Gallery, Bandung (2017), Asia Art Network, Seoul, Korea Selatan (2015), dan sebagainya.

Yosefa Aulia beberapa kali juga melakukan residensi. Proyek residensi terakhirnya adalah Bergulir! Bergetar! Bertabrakan! di Cemeti Institute of Art and Society AIR periode #1 tahun 2017.

Selain menjadi seniman, Yosefa terlibat dalam beberapa proyek pameran, baik sebagai kurator maupun sebagai tim artistik. Dia, misalnya, menjadi kurator untuk proyek Tembus: Masa Subur Awewe, Omnispace, Bandung (2018) dan tim artistik untuk karya May You Live in Interesting Times, di Paviliun Indonesia dalam gelaran Venice Biennale yang ke 58 (2019).

Yosefa mengamati persoalan yang terkait dengan rumah atau hunian yang ada di kota besar. Rumah–secara spasial dan struktural–selain merepresentasikan nilai dan norma yang merepresentasikan individu yang tinggal di dalamnya, juga berfungsi sebagai jalan keluar-masuk dari nilai-nilai yang diadopsi dari luar. Dia melihat bahwa di ruang-ruang hidup yang sumpek atau padat membuat individu-individu yang ada di dalamnya terjebak pada situasi ‘marginal’. Individu-individu tersebut menemui keterbatasan akses, pilihan, dan ruang bagi dirinya sendiri. Dengan begitu, bagi Yosefa, rumah kerap kehilangan otoritasnya sebagai ruang inkubasi bagi individu yang tinggal di dalamnya dan dapat menimbulkan bias akan konsepsi batas, fungsi dan nilai.

Dalam karyanya tentang ruang ketiga ini, Yosefa ingin menghadirkan rekonstruksi dari kondisi tersebut dalam bentuk instalasi yang menyerupai ruang di dalam rumah, di mana kepadatan dan keterbatasan ruang dihadirkan dalam bentuk timbunan objek yang mengisi celah-celah dari barang-barang keseharian. Pengunjung diajak untuk dapat masuk dan menyingkap ruang-ruang tersebut untuk merasakan pengalaman ruang ketiga tersebut.

  • YOSHI FAJAR | Jogjakarta

YOSHI FAJAR | Seniman Indonesia di Biennale Jogja XV EQUATOR #5Yoshi Fajar Kresno Murti adalah seorang tukang arsitek, praktisi arsip, aktivis, dan tukang kebun yang tinggal di Yogyakarta. Namun, komitmennya yang multi-disiplin tersebut justru berbasis dari keterlibatannya dalam mengorganisir, mendokumentasikan, mengadvokasi kampung kota sebagai entitas ruang dan sosial.

Tahun 2000 – 2008 ia bekerja di Yayasan Pondok Rakyat, sambil mengajar di beberapa universitas. Pada 2009 – 2016 ia bekerja sebagai Koordinator Riset dan Pengembangan Program di Indonesian Visual Art Archive (IVAA), hingga sekarang ia menjadi Ketua Yayasan di lembaga tersebut. Bersama teman-temannya, Yoshi mendirikan Sekolah Budaya mBrosot di Kulonprogo, Museum Bergerak 65, dan Galeri Lorong.

Sejak tahun 2008, Yoshi juga membangun ‘Ugahari’ sebagai sebuah praktik arsitektur yang bersifat sosial-lingkungan, relasional, berbasis sumberdaya dan berorientasi proses. Dengan menggunakan anarki sebagai perspektif, ugahari bermaksud mengambil alih otoritas produksi ruang kembali pada yang menghidupi.

Tulisan-tulisan Yoshi bisa ditemukan pada Katalog Data pada Seni dan Isu Sosial (IVAA 2011), Plating Tlecek Ruang Arsitektur (2012), Babad Kampung: Merayakan Sejarah dan Identitas Kampung di Yogyakarta pada buku Performing Contemporary Indonesia (2015), sebagai editor pada Arsipelago: Archival Work & Archiving Art and Culture in Indonesia (2014), and penulis Urbanisme Halaman Rumah di buku Halaman Rumah (2017).

Yoshi menghadirkan instalasi, ruang, peristiwa/momentum, dan dekonstruksi mengenai hotel sekaligus cara berpikir kita mengenai ruang (Asia Tenggara). Karya yang ia buat menghadirkan instalasi konseptual mengenai hotel dengan menyediakan beberapa ruang tidur, kamar mandi/toilet bersama, tempat swafoto, dan beranda santai.

Sebagai seniman Indonesia di Biennale Jogja XV EQUATOR #5, melalui karyanya Yoshi merespons site specific di sekitar area yang dibanguni hotel di Kota Yogyakarta. Dia hendak mengajak kita untuk “menantang” konsep hotel global yang standar, memusat dalam segala hal, dan yang bersifat korporasi. Dengan kondisi wilayah yang ekstrim (pinggir sungai, pinggir keramaian jalan, pusat kota, pinggir trotoar, dan lain-lain), karya ini didirikan secara konseptual, kontekstual, dan responsif dengan tantangan sosial-budaya-politik-ekonomi kewilayahan, berikut segala problem teknisnya. []

Sources: doc biennalejogja

4.9/5 - (7 votes)

4.9/5 - (7 votes)

Simak Pula Pawarta Tentang , Atau Adicara Menarik Lain Oleh Official Adm


Tentang Official Adm