Pawarta Adicara!

JARINGACARA sebagai media publikasi memiliki keinginan turut memberi warna dalam mengabarkan segala agenda acara seni budaya, pariwisata, warta, cuaca, juga menebarkan canda-tawa.
Perihal kontak kerjasama publikasi pun media partner, sila simak “Syarat dan Ketentuan“.

HIGHLIGHT
   
Helatan SEAMEX 2019 -Southeast Asia Music Education Exchange di Yogyakarta

Helatan SEAMEX -Southeast Asia Music Education Exchange di Yogyakarta


Diwartakan oleh Haiki Murakabi pada 26 Agustus 2019   (5,196 Readers)

SEAMEX sebagai istilah untuk akronim dari ‘Southeast Asia Music Education Exchange’ atau dalam bahasa Indonesia-nya adalah ‘Pertukaran Pendidikan Musik Asia Tenggara’ merupakan pasar khusus pertama untuk pendidikan musik di kawasan Asia Tenggara.

Sebagai satu helatan yang agendanya digelar di Jogja Nasional Museum, SEAMEX memberikan ruang informasi dan juga menyajikan pendidikan seputar musik di wilayah Asia Tenggara. Selanjutnya mengenai tema edisi ketiga dari helatan SEAMEX tahun 2019 yang digelar di Indonesia, khususnya di kota Yogyakarta ini adalah “Music, Sphere, and Interconnected Generations”.

Gelaran SEAMEX pada tahun 2019 memiliki fungsi dan tujuan sebagai jembatan penyeberangan menuju ke suatu tempat pertemuan khususnya di bidang musik, yaitu dengan ratusan profesional musik dari 10 negara ASEAN untuk kemudian saling berbagi ide, saling mengeksplorasi peluang, dan saling mengembangkan jejaring yang solid.

Waktu penyelenggaraan SEAMEX tahun 2019 ini diagendakan selama 3 hari, yaitu dimulai dari tanggal 6 September dan akan berakhir pada 8 September 2019 dengan mengambil tempat di Jogja Nasional Museum. Setiap hari acara dimulai pada pukul 9 pagi dan berakhir pada pukul 10 malam.

Ada beberapa pemaparan yang hadir terkait dengan helatan SEAMEX ini dalam memberikan tanggapannya. Di antaranya adalah tanggapan sebagaimana yang dituliskan oleh Hanry Tapotubun dan Brian Trinanda K. Adi di bawah ini.  Hanry Tapotubun dalam tulisannya memberikan “Respon SEAMEX atas Musik dan Lokalitas Budaya Masyarakat di Era Globalisasi (Studi Kontek Masyarakat Ambon, The City of Music)”, sedangkan Brian Trinanda K. Adi sebagai sosok Peneliti di Citra Research Center memaparkan “SEAMEX: Melebur Dikotomi dan Ambivalensi atas Musik, Ruang, dan Generasi”.

***

“Respon SEAMEX atas Musik dan Lokalitas Budaya Masyarakat di Era Globalisasi (Studi Kontek Masyarakat Ambon, The City of Music)” oleh Hanry Tapotubun

Helatan SEAMEX -Southeast Asia Music Education Exchange di YogyakartaEra globalisasi saat ini menjadi era dimana pertukaran informasi serta perjumpaan lintas kebudayaan dapat terjadi dengan cepat. Dengan didukung oleh perkembangan teknologi yang kian cepat, jejaring konektivitas manusia juga akan semakin intens terjadi. Dampaknya ialah, perjumpaan lintas budaya antar belahan dunia yang, faktanya, memang semakin menjadi sulit untuk dibendung.

Globalisasi, tentunya, juga terjadi pada musik, sebagai salah satu produk budaya masyarakat yang cukup dinamis. Kita tentu tidak kaget lagi bahwa musik reggae bukan lagi menjadi “milik” orang Jamaika saja, melainkan telah menjadi simbol “pemersatu” masyarakat kulit hitam di manapun mereka berada. Atau genre hiphop, yang dulunya selalu identik dengan orang-orang afro-american, saat ini bahkan telah dinikmati oleh orang-orang di pedalaman Papua.

Merespon hal ini, kekhawatiran akan tergerusnya lokalitas masyarakat perlahan meningkat, seiring pesatnya arus dan jangkauan globalisasi tersebut. Hal ini cukup beralasan, di antaranya karena derasnya pertukaran informasi dan pengetahuan pada era globalisasi, pun juga pada betapa digdaya-nya kebudayaan “luar” yang masuk dan menyatu dalam kontek suatu masyarakat tertentu.

Lalu, apakah globalisasi musik ini akan langsung menghilangkan lokalitas pada dinamika bermusik kelompok masyarakat tertentu? Jawabannya adalah TIDAK.

Mengapa? Ada dua alasan utama dalam menjawab hal tersebut. Pertama, proses terciptanya musik sebagai suatu produk budaya masyarakat tidak bisa terjadi di luar konteks keseharian masyarakat tersebut. Ya, meski memang harus diakui bahwa pengaruh kebudayaan “luar” memiliki andil dalam proses tersebut, tetapi hal itu tidak serta-merta mengesampingkan dialektika musikalitas masyarakat secara lokal dalam proses terbentuknya karya musik tersebut. Yang ada malah sebaliknya, pertukaran pengetahuan dan ide dengan dunia luar akan semakin mewarnai dinamisnya tatanan musikalitas masyarakat secara lokal.

Misalnya pada masyarakat Ambon, dengan keberagaman corak musik sebagai tanda perjumpaan orang Ambon dengan kebudayaan luar. Salah satu buktinya adalah alat musik bercirikan masyarakat kepulauan seperti tahuri (terompet kulit kerang) dan tifa; yang bernuansa era kolonial seperti hawaiian, terompet dan keroncong; yang bernuansa Islami seperti gambus dan rebana, serta gong dan totobuang (mirip gamelan) yang cukup bernuansa jawa-melayu. Dari berbagai alat musik yang beragam ini, masyarakat Ambon tetap mampu membawa dinamika budaya dalam musikalitas-nya, dan menjadikan keberagaman ini sebagai elemen-elemen yang semakin mewarnai corak musikalitas mereka. Oleh karena itu, dalam kontek ini, pengaruh globalisasi justru akan semakin memperlihatkan kreatifitas masyarakat lokal dalam mengolah dinamika musikalitas mereka, antara yang lama dengan hal-hal yang diperoleh dari luar.

Alasan kedua adalah menyangkut perlakuan terhadap musik dalam masyarakat, yang menurut penulis, tak akan pernah bisa diseragamkan hanya karena faktor globalisasi tadi. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa meskipun adaptasi musik “global” seperti genre populer telah cukup lazim terjadi, perlakuan dan pemanfaatan “musik global” tersebut akan tetap berkaitan dengan dinamika lokalitas masyarakat.

Salah satu contoh yang paling sering penulis jumpai ialah tentang bagaimana masyarakat Ambon saat ini mengadaptasi lagu-lagu, lawas baik Indonesia maupun barat, dengan irama-irama yang “mellow” sebagai sarana ramah-tamah dalam acara-acara keluarga. Hal ini tentu sedikit “menyimpang” dari fungsi dan tujuan lagu-lagu tersebut diciptakan. Tetapi, kembali ke pernyataan penulis sebelumnya, bahkan dalam konteks inkulturasi musik populer dalam sebuah masyarakat, perlakuan dan pemanfaatan musik tersebut akan tetap bergantung pada bagaimana masyarakat berdinamika dalam kebudayaan mereka.

Dengan demikian, kedua alasan di atas memperlihatkan bahwa dalam dinamika musik dan budaya masyarakat, lokalitas masyarakat tidak akan pernah hilang. Musik menjadi produk “otentik” suatu masyarakat tanpa harus kehilagan lokalitasnya, dimulai dari proses terbentuk hingga ke perlakuan terhadap musik tersebut.

Bahkan bisa dibilang, batasan antara global dan lokal akan hilang dalam ruang-ruang budaya yang melibatkan musik sebagai media atau inti dari kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, seperti yang sering kita dengar dan baca bahwa “there is nothing new under the sun”, hal itu pula lah yang bisa disematkan pada musik, bahwa dinamika dan perjumpaan antar budaya bisa saling mengisi dan melebur, atau bahkan membentuk dinamika baru dalam mewarnai keberagaman masyarakat dunia saat ini.

Hal inilah yang akan menjadi salah satu konten menarik dalam SEAMEX conference 2019 di Yogyakarta kali ini. Mempelajari musik bukan hanya mempelajari bagaimana musik itu tercipta dan dimainkan, tetapi bagaimana dinamika personal, sosial, serta kultural yang ada dalam suatu masyarakat juga akan menpengaruhi bagaimana musik tersebut tercipta diperlakukan dan dinikmati. Dalam hal ini, musik tidak bisa terlepas dari budaya masyarakat secara lokal, tetapi juga tidak tertutup terhadap perjumpaan lintas budaya dan masyarakat pada era globalisasi saat ini.

Sehingga, mempelajari musik sebagai suatu bagian dari masyaraat tentunya akan mengarah pada bagaimana dinamika masyarakat tersebut dalam berinteraksi. Dalam hal ini adalah interaksi yang terjadi secara lokal, tetapi juga yang terjadi secara global. Akhirnya, musik sebagai produk budaya adalah simbol bahwa kreativitas manusia tidak bisa diseragamkan, tetapi dengan semakin intensifnya perjumpaan antar-musik sebagai produk budaya, keberagaman akan semakin kompleks, baik secara lokal maupun global.

***

“SEAMEX: Melebur Dikotomi dan Ambivalensi atas Musik, Ruang, dan Generasi” oleh Brian Trinanda K. Adi

Helatan SEAMEX -Southeast Asia Music Education Exchange di YogyakartaDi dunia sekarang ini, di mana proses globalisasi dan modernisasi begitu pesatnya, musik tradisi dari berbagai belahan dunia—yang acapkali dicatut dalam kolom berlabelkan “world music”—juga turut mendapatkan perhatian yang cukup serius, baik dalam perbincangannya pada level identitas yang paling lokal sekalipun sampai pada konteknya yang mendunia.

Tetapi tunggu dulu, kenapa musik-musik tradisi tersebut “perlu” disebut sebagai “world music”? Senyatanya, tidak ada jawaban tuntas atas pertanyaan yang tidak mudah tersebut; meski acapkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada dikotomi West-versus- the rest (“barat melawan sisanya”), namun saya rasa, pemaknaan semacam ini kurang bijaksana. “Nyatanya, semua tradisi musik di dunia, atau sebut saja ‘musik’, baik yang sudah ada sejak dahulu kala hingga saat ini, begitupula musik tradisional dan modern, yang terkenal maupun tidak, barat dan non-barat, klasik dan populer, kerakyatan ataupun tidak, sudah semestinya masuk dalam kategori world music” (Henry Spiller, Gamelan: The Traditional Sounds of Indonesia [2004]: xv).

Saya sangat senang, ketika ABC-CLIO World Music Series, pun juga publikasi penting semacam The Graland Encyclopedia of World Music sudah beritikad baik untuk meninggalkan dikotomi dalam penggunaan “world music” tersebut; serta kemudian melakukan pendekatan atas kajian “world music” tidak hanya berdasarkan atas eksplorasi pada tradisi musik tertentu (dari mana musik tersebut berasal) namun berdasarkan pada penekanan bahwa musik sudah semestinya multi-direksional sekaligus multi-dimensional. Selalu ada kompleksitas keterhubungan geografi dan budaya yang membawa musik dalam skala global yang lebih luas, yakni, kontek dunia.

SEAMEX (South East Asean Music Education Exchange) dirancang atas kesadaran yang sama. Dalam SEAMEX, keterhubungan geografi dan budaya bagi sejawat rekan se-Asia Tenggara adalah sebuah jalinan yang sangat berharga; dengan musik sebagai jembatan penghubungnya. Inilah yang menjadi alasan bagi SEAMEX 2019, yang kali ini diadakan di Indonesia, untuk mengusung tajuk “Music, Sphere, and Interconnected Generations”.

Dalam perhelatan ini, akan hadir berbgai lembaga musik, pemasok produk dan layanan, lembaga pemerintah dan LSM, serta lebih dari 1.200 pegiat musik dari negara-negara di Asia Tenggara yang akan berkumpul untuk berbagi ide, mengeksplorasi peluang, dan membangun jaringan yang solid. Di samping itu, sejumlah perwakilan negara lain di luar Asia Tenggara juga turut diundang untuk berpartisipasi.

Lalu bagaimana dengan perkara “musik tradisi”—yang saya sebutkan di awal? Dalam penafsirannya, saya setuju dengan Spiller, bahwa “kualifikasi musik tradisi tidak terletak pada ke-‘tua’-an sebuah musik, namun bagaimana ia dapat mengajar, mempertegas, dan menciptakan nilai-nilai sosial, baik terhadap yang memproduksi maupun yang mengkonsumsi … Musik tradisi (sudah seharusnya) menyediakan tempat bagi siapapun juga untuk mencoba pendekatan-pendekatan baru, untuk bereksperimentasi dengan ide- ide baru, serta mensintesakan antara yang baru dan yang lama” (Henry Spiller, Gamelan: The Traditional Sounds of Indonesia [2004] xix).

Dalam hal ini, SEAMEX, justru, secara sungguh-sungguh mengusung panji-panji “tradisi” tersebut. Begitulah “musik tradisi” seharusnya, “ia tak boleh mati dalam ke- “kolot”-an, menjadi “beku” dalam praksis atau perkembangannya. Dalam perhelatan SEAMEX inilah ke-“adiluhung”-an—bukan ke-“tua”-an—musik tradisi dipertemukan dengan kemungkinan-kemungkinan lainnya, yakni, yang katanya, “modern” dan “bukan world music”

Sekali lagi musik tak pernah bisa dilepaskan dari kompleksitas keterhubungannya, baik dalam lokus geografi dan budaya, serta bagaimana ia akan digiring pada kontek dunia. Pertanyaannya ialah bagaimana hubungan tersebut akan dibangun? SEAMEX, sebagai platform pertukaran edukasi musik pertama di Asia Tenggara mencoba menjawab tantangan tersebut, yakni untuk membangun jaringan yang baik untuk tumbuh kembangnya musik di lajur Asia Tenggara; “dengan melebur dikotomi dan ambivalensi atas musik, ruang, dan generasi.”[]

4.9/5 - (9 votes)

Simak Pula Pawarta Tentang , Atau Adicara Menarik Lain Oleh Haiki Murakabi


Tentang Haiki Murakabi