Pawarta Adicara!

JARINGACARA sebagai media publikasi memiliki keinginan turut memberi warna dalam mengabarkan segala agenda acara seni budaya, pariwisata, warta, cuaca, juga menebarkan canda-tawa.
Perihal kontak kerjasama publikasi pun media partner, sila simak “Syarat dan Ketentuan“.

4.9/5 - (8 votes)
HIGHLIGHT
   
Pameran Ekwan Marianto -The Journey of Happiness

Ekwan Marianto Membawa “Cinta dan Kesederhanaan” di Pameran Seni Rupa Bertajuk “The Journey of Happiness”


Diwartakan oleh Utroq Trieha pada 24 Desember 2019   (5,562 Readers)


‘Cinta dan Kesederhanaan’ seolah  menjadi dua kata yang tertempel pada diri Ekwan Marianto. Ialah seniman “seni-rupa” yang boleh dibilang serba-bisa, karena selain karya lukis, dalam karya patung pun ia terlihat mumpuni, terbukti karya-karyanya banyak diminati khalayak yang hadir pada pameran seni visualnya di area Taman Budaya Yogyakarta.

“Cinta dan Kesederhanaan” tersebut bahkan bisa jadi bukan saja sebatas menempel, namun justru memang telah melekat pada diri Ekwan Marianto. Pasalnya, ketika kita mau merunut lebih dalam ikhwal perjalanan yang dilaluinya dalam berkarya, kitapun sedikit-banyak akan melihat dan kemudian menyimpulkan dengan kata serupa; ‘cinta’ dan ‘sederhana’.

Sebut saja dari kehidupan Ekwan di masa kecil yang terlahir di Tuban tahun 1977 silam. Sebagai lelaki yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, tentu ia menjadi anak desa yang tak asing dengan centang-perenang perdesaannya. Hidup rukun bersama keluarga, sanak-saudara, bahkan juga bergotong-royong dengan tetangga. Menonton film kartun, mendengar dan melihat wayang, bergaul bersama teman sebaya, bahagia dengan sesama tukang ngarit dan ternak kerbau, gembira bersama penggembala sapi, ataupun ceria ketika bercengkrama dengan tukang angon bebek. Kesemuanya itu seolah menjadi awal keberangkatan dalam perjalanan berkaryanya.

Tatkala remaja, anak desa ini kemudian memiliki keinginan menuntut ilmu ke Jogjakarta, sebagai tempat lain yang bisa dibilang ‘sedikit’ agak ramai dibanding kampung-asalnya. Tentu Jogja juga tak seramai kota metropolitan lain di nusantara; Surabaya, Medan, atau bahkan Jakarta. Namun, di Yogyakarta inilah Ekwan Marianto mulai bertumbuh dengan nuansa yang tak monoton seputar kampung-halamannya. Ditambah lagi dengan pilihan sekolah yang bernuansa seni; SMSR alias Sekolah Menengah Seni Rupa, tak pelak kreativitas yang telah tertanam sejak kecil di kampung-halamannya tersebut, harus ia kembangkan berdasar dengan keilmuan yang ia peroleh di sekolah. Ialah sekolah kejuruan seni yang harus ia tempuh selama 4 tahun, di mana sebagian besar teman-teman sebayanya justru hanya menempuh 3 tahun dengan sekolah yang strata-nya serupa.

Seiring waktu berjalan, Ekwan tak mempermasalahkan itu semua. Dengan latar-belakang “wong ndesa” justru ia mampu mempertahankan sifat “nglembah-manah”nya. Ekwan remaja sadar dengan apa yang dihadapi dan dijalaninya, karena itu, ia justru semakin memantabkan diri untuk menekuni dunia seni-lukis sebagaimana telah ia putuskan sejak awal. Dengan kerendahan hati, ia pun berusaha keras untuk menguasai beragam teknik dan gaya lukis.

Ekwan Marianto -The Journey of Happiness

Nitiprayan Bagi Ekwan Marianto

Menuntut ilmu di SMSR yang berlokasi di seputar area Bugisan -Yogyakarta, secara otomatis membuatnya untuk juga bertempat tinggal yang tak jauh darinya. Nitiprayan akhirnya menjadi tempat yang ia pilih untuk tinggal, yang kelak kemudian hari, dari Nitiprayan ini jugalah ia mendapatkan banyak hal. Bahkan bukan saja guna mengaplikasikan karya-karya seninya, namun dari tempat tersebut ia juga mendapatkan pasangan hidupnya. 🙂

Nitiprayan adalah salah satu tempat, sebagai sebuah lingkungan yang juga dipadati para seniman muda dengan penuh gairah, yang bukan saja sebatas kawan-kawan seangkatannya di SMSR, melainkan mereka yang juga menempuh pendidikan tinggi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Dengan latar-belakang seperti itu, meski Ekwan tidak menempuh pendidikan tinggi seperti yang dilakoni para tetangganya, pengaruh lingkungan tempat tinggal tersebut begitu besar dalam jalan hidupnya, termasuk di antaranya adalah pertemuan dengan seorang perempuan yang kelak ia nikahi.

Kemantapannya menjadi seniman dan caranya memandang hidup secara umum, termasuk di dalamnya adalah melekatnya kata ‘Cinta dan Sederhana’, juga tak lepas dari pengaruh lingkungan tersebut, di mana pada saat ini, Ekwan Marianto juga telah memiliki ruang seni yang dikelolanya dengan kesungguhan hati, dan sekaligus didedikasikan untuk siapa saja yang membutuhkan. Ialah Kembang Jati Art House nama studio tersebut.

Rasa beruntungnya tinggal di area Nitiprayan ini sebagaimana diungkapkan oleh Jumaldi Alfi di dinding facebook-nya, yang menuturkan bahwa meski dua kali gagal masuk di ISI Yogyakarta, namun di Nitiprayan itu jugalah Ekwan bisa mendapatkan banyak ilmu. Ia memiliki kesempatan untuk sering bertemu dengan sesama teman yang kuliah di ISI. Baik dengan cara menyempatkan untuk main dan bertandang ke studio mereka, pun becengkrama saat bertemu di angkringan dan tempat lain semacamnya. Mereka para seniman senior yang acap Ekwan sambangi itu di antaranya sebut saja Pak Ong (Ong Hari Wahyu), Mas Heri Kris, Mas Putu Sutawijaya (pemilik Sangkring ARtspace), Mas Entang Wiharso, Mbak Dyah Yulianti, dan tentu saja Mas Jumaldi Alfi (pemilik SaRANG Building).

Nitiprayan yang sejatinya telah masuk di Kabupaten Bantul (sebagaimana SMSR, SMKI, dan SMM) ini, merupakan tempat yang memang tak jauh dari ISI Yogyakarta era sebelum 90an, yaitu saat ISI Jogja berlokasi di area Gampingan -Wirobrajan, dan kini menjadi Jogja National Museum. Karena itu, Nitiprayam merupakan lokasi yang cukup ideal ketika menjadi tempat banyak seniman bertempat-tinggal.

The Journey of Happiness Ekwan Marianto

‘Cinta dan Kesederhanaan’ Menjadi Jalan Menuju Kebahagiaan

“The Journey of Happiness” merupakan pameran tunggal kali ke-5 yang digelar oleh Ekwan Marianto dengan menyajikan lebih dari 40 karyanya. Menjadi kali ke-5, karena pada berapa tahun sebelumnya, ia pun telah melakukan pameran tunggal di berbagai tempat berbeda. Yaitu adalah sebagai berikut:

  1. Tahun 2014 mengusung tema “Sehat Jiwa dan Raga”, dengan tempat di Tembi Rumah Budaya-Bantul Yogyakarta
  2. Tahun 2014, mengangkat tema “Pejantan Tangguh”, dengan lokasi berada di Rumah Seni Sidoarum Godean Sleman Yogyakarta
  3. Tahun 2017, membawa tajuk “So Happy”, berlokasi di Limas Art House Yogyakarta
  4. Tahun 2017 mengusung tema “Eternal Happiness”, dengan tempat di Limanjawi Art House Magelang

Seiring dengan pameran bertajuk “The Journey of Happiness” yang diselenggarakan sejak tanggal 21 Desember 2019 dan berlangsung hingga 4 Januari 2020, ada banyak proses yang Ekwan jalani. Di antaranya adalah kelonggaran Ekwan untuk menyediakan waktu, tenaga, bahkan juga mengusahakan tempat yang berujud sebidang tanah dengan lokasi juga masih berada di daerah utara kampung Nitiprayan. Ekwan mendirikan sebuah bangunan limasan yang diperuntukkan sebagai ruang berkumpul dan berpameran. Berada di situlah Kembang Jati Art Space itu lokasinya.

Mengenai studio Kembang Jati Art Space tersebut, kepada Uda Jumaldi Alfi, Ekwan kembali berendah hati menuturkan, “Cuma ruang sederhana kok Mas, sekedar buat senang-senang dan bisa kumpul-kumpul dengan teman-teman.”

Inisiatif mandiri sebagaimana kalimat yang dituturkan Ekwan tersebut, selain menjadi petunjuk ikhwal kesederhanaan pun kerendah-hatiannya, secara tidak langsung dapat kita amati adalah juga menjadi bagian dari sikap peduli sosok Ekwan. Baik itu peduli terhadap karirnya sendiri, pun kepedulian terhadap ketersediaan ruang alternatif bagi sesama rekan perupa-nya.

Secara tidak langsung dapat kita katakan bahwa dengan segala kesederhanaannya, Ekwan Marianto kenyataannya juga tetap masih sempat memikirkan dan memiliki keinginan dalam memberikan ruang ekspresi bagi rekan-rekan seperjuangannya. Hal ini menjadi langkah mulia yang sungguh sangat di luar dugaan. Bahwa Ekwan yang selalu mengaku sebagai sosok ‘bukan siapa-siapa’ ini, toh ia justru berpikir di luar kotak (out of the box), yaitu dengan tak banyak berkeluh kesah dalam karya, sekaligus nir-kata untuk langsung mempersembahkan ruang ekspresi guna memamerkan karya (termasuk karya rekan-rekan perupa lain), di mana tak sedikit perupa lain masih sebatas mengeluh.

Dari perjalanan sosok Ekwan Marianto yang dilakoninya dengan tidak singkat dan tak semulus orang bayangkan tersebut, pada akhirnya selama dua minggu di pergantian tahun 2019 menuju 2020, ia bisa mempersembahkan karya-karya terbaiknya dalam pameran berjudul “The Journey of Happiness”.

Preskon Pameran Ekwan Marianto -The Journey of Happiness

Pameran Tunggal “The Journey of Happiness”

Sabtu siang tanggal 21 Desember 2019, beberapa saat sebelum pameran “The Journey of Happiness” dibuka (pada malam harinya), di ruang VIP Taman Budaya Yogyakarta digelar jumpa media. Selain ada Ekwan Marianto selaku seniman-perupa, hadir pula Jean Couteau sebagai penulis, Sri Gabriella Rahayu juga sebagai penulis, serta tak ketinggalan Agung Tobing yang merupakan promotor sekaligus kolektor dalam pameran tunggal ini.

Dimoderatori oleh Kuss Indarto, acara jumpa pers tersebut berlangsung selama kurang lebih 60 menit, yang kemudian dilanjutkan dengan tur keliling di ruang pameran tunggal seni visual “The Journey of Happiness” tersebut.

Dari ragam percakapan yang dituturkan, baik oleh narasumber pun pertanyaan dari para audience dapat disimpulkan bahwa karya-karya yang dipersembahkan oleh Ekwan Marianto ini sangat detil dan cukup apresiatif. Di sana ada banyak kelucuan, tak sedikit kesederhanaan, namun juga tersedia sajian yang bisa dikategorikan dalam sikap ‘satire’.

Dapat dikatakan bahwa kreativitas dari karya-karya yang disuguhkan oleh sang perupa muda dalam pameran tunggal “The Journey of Happiness” ini sejatinya sangat mumpuni. Ia justru sudah melampaui dari batas-kata ‘sederhana‘, baik sebagaimana yang acap dikatakan oleh Ekwan Marianto sendiri, pun yang dituturkan beberapa seniman lainnya.

Sembari tur-keliling di ruang pameran, seolah tak mau meng-exclusive-kan diri, Ekwan Marianto secara santai dan tiada beban menjelaskan karyanya satu persatu. Ia pun tekun menjawab tak sedikit pertanyaan dari awak media. Bahkan ketika beberapa blogger yang turut diundang juga mengajukan pertanyaan, yang terkadang terasa lucu, ia pun menanggapinya tetap dengan rendah hati.

Sungguh, Ekwan Marianto seolah menjadi prototype seniman masa kini yang tak akan pernah padam di masa depan. Karena ia bukan saja sebatas menyajikan pun mempersembahkan karya, melainkan juga memiliki kepedulian sekaligus penuh rendah hati dalam melayani.

Dan meski sang seniman juga selalu menuturkan kata yang “tidak ndakik-ndakik” alias ketidak muluk-an dalam berkeinginan, namun tak bisa dimungkiri ketika ekspresi dalam karya-gembiranya ternyata sungguh mampu membuat bahagia dan gembira orang lain.

Tak Hendak Membuang Kesempatan Sia-Sia, Namun Tetap Realistis

Dalam kerendah-hatiannya, di lain sisi Ekwan memang tak hendak membuang waktu dan kesempatan menjadi sia-sia. Akan tetapi, ketika kalimat yang seringkali dituturkannya disarikan, ada hal lain yang bisa disimpulkan darinya. Ialah sikap “Realistis”.

Sebagai contoh, tatkala ia mendapat kesempatan untuk menjalani pameran tunggalnya bertajuk “The Journey of Happiness” kali ini. Ekwan menerimanya dengan senang hati. Ia  menuturkan bahwa kesempatan yang diterima dan membuat hatinya senang tersebut, sejatinya semua berawal dari rasa ‘Cinta’ terhadap apa yang telah dan sedang dilakoni. Ia mencintai pekerjaannya. Ia mencintai hasil karyanya. Ia pun teramat sayang terhadap keluarganya.

Dengan bermodalkan cinta itulah pada akhirnya ketekunan tercipta. Hingga di satu waktu, kesempatan berpameran yang  dipromotori Bapak Agung Tobing itu datang. Ialah bagian dari  “Anugerah Cinta” yang tak hendak Ekwan sia-siakan.

“Keinginan saya tidak muluk-muluk Mas, dapat menyalurkan ekspresi dan berkarya dengan riang serta lancar sudah membuat saya bahagia. Saya ini bukan siapa-siapa tapi mendapat kesempatan di fasilitasi berkarya seperti sekarang ini adalah anugerah,” Ekwan menuturkannya kepada Jumaldi Alfi.

Pada kesempatan berbeda, beberapa tahun silam pada akhirnya Ekwan Marianto juga malah mendapatkan tawaran untuk bisa menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Namun dengan berat hati ia belum dapat menerima tawaran perihal tempat yang sesungguhnya dulu pernah ia idam-idamkan tersebut. Ekwan memutuskan seperti itu, karena pada kondisi tersebut ia lebih memilih untuk berpikiran realistis. Bahwa bisa saja melanjutkan kuliah di ISI, namun ada pertanyaan: bagaimana dengan kondisi lainnya? Bakal terganggu enggak? Bisa tertangani, tidak? Hal tersebut sangat bisa dipahami, karena pada saat itu ia telah memiliki tak sedikit tanggung-jawab yang harus dipegang. Baik itu tentang keluarga, di mana selain istri, ada lebih dari satu anak yang harus ia tanggung. Pun dengan karya, yang juga tak boleh ia hentikan dengan alasan kesibukan dan kekurangan waktu.

Sebagaimana keinginannya, bukan ia menolak mentah-mentah tawaran untuk berkuliah di ISI saat ia memiliki tanggung-jawab lain yang tak enteng tersebut. Namun seperti selama ini ia jalani, ia ingin merdeka. Ia tak ingin membebani dan terbebani. Dan itu Ekwan jalani bukan saja dalam karya seninya, akan tetapi juga di kehidupan lain yang menyertai. [uth]

Pameran Tunggal Seni Visual “The Journey of Happiness”
Artist Ekwan Marianto
Waktu

21 Desember 2019 – 4 Januari 2020

(Pukul 10.00 s.d. 20.00 WIB)

Tempat Taman Budaya Yogyakarta
Jl. Sriwedani Ngupasan
Gondomanan Yogyakarta
Kurator & Promotor Agung Tobing
Narahubung 081 827 7073 (Nununk Ambarwati)
HTM FREE!

Note:
Artikel bersumber dari interview langsung dengan Seniman (Ekwan Marianto) dan juga disarikan dari status Facebook -Jumaldi Alfi

4.9/5 - (8 votes)

4.9/5 - (8 votes)

Simak Pula Pawarta Tentang , Atau Adicara Menarik Lain Oleh Utroq Trieha


Tentang Utroq Trieha