Pawarta Adicara!

JARINGACARA sebagai media publikasi memiliki keinginan turut memberi warna dalam mengabarkan segala agenda acara seni budaya, pariwisata, warta, cuaca, juga menebarkan canda-tawa.
Perihal kontak kerjasama publikasi pun media partner, sila simak “Syarat dan Ketentuan“.

HIGHLIGHT
   
Indra Tranggono Menanyakan Kembali Perihal 'Cerpenis Mau Bicara Apa'

Indra Tranggono Menanyakan Kembali Perihal ‘Cerpenis Mau Bicara Apa’?


Diwartakan oleh Rika Purwaka pada 12 September 2019   (4,167 Readers)

Indra Tranggono sebagai Cerpenis mengutip pertanyaan sederhana dari sastrawan kelas wahid Indonesia, yakni Umar Kayam, untuk kemudian dilontarkan kepada para peserta Workshop Penulisan Cerpen Festival Sastra Yogyakarta (Joglitfest) tahun 2019: “Dalam menulis, kowe kuwi arep matur apa? (Dalam menulis, Kamu mau bicara apa?)”

Sebagai lanjutan dari pengantar yang berujud kalimat pertanyaan tersebut, Indra juga melanjutkan kalimatnya, “Pertanyaan Kayam tersebut menggedor kesadaran bahwa hakikat menulis cerita pendek adalah berkomunikasi kepada pembaca. Di dalam komunikasi, ada ide/gagasan yang disampaikan, baik ide sosial maupun ide estetik. Ide sosial berkaitan dengan dinamika permasalahan kehidupan manusia dan masyarakat, sementara ide estetik adalah simbol, idiom yang mewujud bahasa. Demikian menurut Ashadi Siregar.”

CerpenisDalam rangkaian pra-event Fesvestival Sastra di Jogja  bertajuk JOGLITFEST dengan tempat di Sekretariat Jejak Imaji, Prenggan Selatan, Kotagede,Yogyakarta itu, para peserta workshop pun menyimak paparan demi paparan dari Indra Tranggono. Dapat diketahui bahwa Indra Tranggono sebagai cerpenis kelahiran Yogyakarta pada tanggal 23 Maret 1960 yang menjadi pemateri pada workshop tersebut selain menulis cerita pendek adalah pria yang juga aktif menulis cerkak, akronim dari carita cekak yang merupakan wujud cerpen berbahasa Jawa.

Sebagai orang yang telah memiliki kelas dan bahkan acap dijuluki senior, dibuktikan dengan ketidak-alpaannya pada ragam undangan sebagai pemateri pun nara sumber, ia menjadi salah satu sosok senior yang tetap “pantang menyerah” dan tak mau ketinggalan ketika harus ikut-serta dalam beberapa ajang perlombaan literasi. Dari ragam naskah lomba itu sebut saja satu di antaranya adalah pada Lomba Penulisan Naskah Drama Radio Bahasa Jawa DIY tahun 2019 yang bertujuan untuk memperkaya khasanah naskah drama radio bahasa jawa dan regenerasi pegiat drama radio bahasa jawa di area Jogjakarta.

Acara workshop yang berlangsung pada hari Selasa 10 September 2019 tersebut dibagi ke dalam dua sesi diskusi dengan durasi waktu dari pukul 10.00 dan berakhir pada pukul 14.00 WIB. Beberapa peserta juga dipersilakan untuk membacakan karyanya di hadapan para peserta lainnya.

Dimoderatori oleh Wika G. Wulandari, penulis buku kumpulan cerpen berjudul ‘Perempuan yang Disunting Gelombang’ (2017) tersebut juga menegaskan kepada para peserta, bahwa untuk menjadi seorang cerpenis, maka tidak cukup hanya mengandalkan bakat alam.

Dunia penulisan cerpen hakikatnya adalah dunia keilmuan yang didukung cara pandang visioner, imajinasi, prakatik, dan teknik. Disebut dunia keilmuan karena penulisan cerpen membutuhkan sistem berpikir/logika/penalaran, riset, metodologi, dan lainnya. Ini menunjukkan menulis cerpen tidak bisa hanya mengandalkan bakat alam dan warisan pengalaman,” ungkapnya.

Pasca kegiatan workshop, Wika pun menyempatkan diri untuk berbagi pandangan perihal pentingnya posisi seorang penulis cerpen hari ini. Baginya seorang penulis cerpen tetap penting, sebab mereka adalah para perekam “rasa” dan peristiwa.

“Sesuatu yang didokumentasikan atau direkam dalam bentuk cerpen tentunya lebih efektif dalam menyentuh kesadaran pembaca, sebab wacana-wacana dalam bentuk berita cenderung menjenuhkan. Toh, cerpen sifatnya fiksi, jadi ada permainan diksi. Di tengah zaman seperti ini, yang sibuk, cenderung bergegas, dan serba pragmatis, saya rasa kita perlu menghidupkan kembali ruang-ruang tempat berlangsungnya hal-hal yang dapat memberikan hiburan, dan cerpen menjadi salah satunya,” tutur mahasiswi asal Tidore tersebut.

“Sebagai orang yang juga menulis cerpen, saya merasa para peserta yang kini mengikuti workshop harus sadar pula bahwa diperlukan pula kesiapan fisik dan mental untuk menjadi seorang penulis. Mengapa demikian? Sebab ketika cerpen kita sudah terpublikasi dan dinikmati khalayak, maka kita sudah tak memiliki kewenangan untuk membelanya. Mereka telah lepas,” Wika memungkasi penuturannya pada ajang workshop dalam rangkaian pra-event Fesvestival Sastra di Jogja JOGLITFEST 2019 ini. [rpw]

4.9/5 - (7 votes)

Simak Pula Pawarta Tentang , Atau Adicara Menarik Lain Oleh Rika Purwaka


Tentang Rika Purwaka