Pawarta Adicara!

JARINGACARA sebagai media publikasi memiliki keinginan turut memberi warna dalam mengabarkan segala agenda acara seni budaya, pariwisata, warta, cuaca, juga menebarkan canda-tawa.
Perihal kontak kerjasama publikasi pun media partner, sila simak “Syarat dan Ketentuan“.

HIGHLIGHT
   
Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV - 2019

Pembukaan Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV – 2019


Diwartakan oleh Utroq Trieha pada 1 Agustus 2019   (5,020 Readers)

Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV menjadi semacam event Pre Biennale, yang merupakan helatan sebagai bagian dari proses penjaringan seniman partisipan Biennale Jogja Equator 5, khususnya untuk para seniman yang usianya kurang dari 35 tahun.

Secara resmi Event Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV tahun 2019 ini telah dibuka pada Kamis malam, tanggal 1 Agustus 2019, bertempat di area PKKH UGM. Dalam acara pembukaan, pidato sambutan langsung disampaikan oleh Alia Swastika selaku Direktur Utama Biennale, dan kemudian juga disambung dengan sambutan dari pihak PKKH selaku perwakilan UGM sebagai tempat diselenggaranya pameran ini.

Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV - 2019Dalam pameran Event Pre Biennale –Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV tahun 2019 ditampilkan karya-karya dari sejumlah 16 seniman pun kelompok seni, yang selanjutnya akan dikurasi 5 lagi karya tersebut, untuk kemudian lima karya terpilih akan diikut-sertakan dalam pameran utama Biennale Jogja Equator 5 pada bulan Oktober 2019.

Secara umum, karya-karya dari 16 seniman –dan kelompok seni yang dipersembahkan pada Event Pre Biennale yang mulai dihelat tanggal 1 Agustus 2019 ini adalah hasil dari merespon sejumlah isu yang terkait dengan lingkungan, tradisi, fenomena kultural di suatu lingkungan sosial, gender, perburuhan, teknologi, dan juga sejarah. Para partisipan seniman muda ini mengemas karya-karyanya dengan beragam pendekatan artistik pun medium ekspresi.

Partisipant Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV – 2019

Sebagaimana yang terpaparkan pada laman sebelumnya, yaitu perihal satu program Biennale Jogja tahun 2019: “Dari Batu Air dan Alam Pikir untuk Udara dan Kehendak Manusia“(sila klik), hmaka ke-16 seniman dan atau kelompok seni yang mempersembahkan karyanya adalah sebagai berikut;

Riski Yanuar | Barasub (Kelompok) | Meliantha Muliawan | Rokateater (Kelompok) | Eldhy Hendrawan | Marten Bayuaji | Fika Ria Santika | Niose Brut (Kelompok) | Pendulum (Kelompok) | TacTic Plastic (Kelompok) | Yozep Arizal | Wisnu Ajitama | Agne Christina | Kukuh Hermadi | Siam Chandra Artista | Studio Malya (Kelompok).

  • Kritik Riski Yanuar Terhadap Sejarah Seni Rupa Indonesia

Melalui tiga buah kanvas berukuran 180 x 120 cm, Riski Januar menyampaikan kritik terhadap sejarah seni rupa Indonesia yang tidak pernah selesai di setiap periode. Riski melihat bahwa seni rupa Indonesia tidak memiliki ciri khas tersendiri. Seni rupa Indonesia masih mengadopsi gaya barat walaupun persoalan yang dihadapi berbeda. Hingga kini tidak ada pembacaan-pembacaan yang berkelanjutan pada seni rupa Indonesia. Seperti halnya ketika mooi indie dibabat habis, dan Sudjojono yang nampak begitu superior.

Selanjutnya masuk ke era komunisme, dimana lukisan kerakyatan diusung dan akhirnya beralih ke era dekoratif yang tidak merepresentasikan dan mengritik apapun. Menurut Riski hal tersebut berdampak ke seniman di era sekarang yang
mengalami kebingungan perihal definisi seni rupa kontemporer. Ketiga buah karya lukisan Riski sengaja tidak diselesaikan dan ditutup separuh dengan kemasan karton dan bubble wrap yang akan disandarkan di ruang pamer.

Pada kemasan karton Riski akan menuliskan kutipan-kutipan dari Sudjojono maupun seniman yang berelasi dengan beliau. Masing-masing lukisan Riski merepresentasikan karya tiga seniman yang saat itu berurusan dengan Sudjojono, yaitu Wakidi, Nasar, dan Oesman Effendi. Wakidi dipilih karena merepresentasikan periode mooi indie, penanda generasi Bumiputera. Nasar dipilih karena menjadi pelopor lukisan abstrak yang keluar dari konteks Sudjojono. Sedangkan Oesman Efendi dipilih karena paling getol melakukan kritik terhadap Sudjojono.

Riski Januar adalah seniman muda kelahiran Padang, tahun 1993. Pada tahun 2017 ia menyelesaikan studi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jurusan Fine Art Fotografi. Setelah jenuh mengekloprasi teknik cetak menggunakan anthotype dengan material daun bayam, dua tahun lalu Riski mantap berkarya dengan medium painting yang dipelajari secara otodidak. Sebagian besar karya Riski merupakan lukisan mooi indie yang menampilkan lanskap. Menurutnya lanskap tidak hanya berarti pemandangan secara harafiah. Ada sudut pandang lain yang bisa dilihat dari hal tersebut. Riski sempat menggelar pameran tunggal bertajuk “Artganic” pada tahun 2015 di Via-via Kafe Yogyakarta. Pada tahun 2018 Riski mendapat penghargaan Emerging Artist Award di BAKABA #7 yang diselenggarakan Sakato Art Community.

  • Barasub Bicara Tentang Jejak Historis Persoalan Transgender

Barasub terbentuk pada tahun 2015, awalnya mereka berangkat dari terbatasnya penerbitan mengenai sekuensial, komik, dan novel grafis pada masa itu. Kemudian kolektif Barasub muncul untuk membicarakan dan menghadirkan kembali dengan gagasan-gagasan yang baru, sebagai pembeda generasi penerbitan yang lama. Barasub beranggotakan 5 orang yang bergelut di dunia visual dan berasal dari mahasiswa Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Konsistensi mereka untuk bergelut di dunia penerbitan hingga saat ini menggembangkan gagasan dan ide yang bersinggungan dengan humanisme, hingga merambat ke sains kemudian diolah kembali dan dipresentasikan dengan cara masing-masing karakter anggotanya. Mereka juga menggunakan kompilasi komik sebagai medium untuk penyampaiannya terhadap science fiction, psikologi, filsafat dengan hal-hal yang sifatnya metafisika.

Dengan menggunakan medium digital dan publishing, Barasub mencoba untuk menyelaraskan gagasan awal mula dari akar terbentuknya karya ini. Berangkat dari salah satu gagasan anggota Barasub yang memiliki hubungan erat dengan transgender, salah satu dari anggotanya mengungkapkan bahwa ia memiliki pengalaman dengan transgender yang merupakan seorang guru sewaktu sekolah dasar. Guru tersebutlah yang menuntutnya meminati dan memasuki dunia seni rupa hingga saat ini.

Karya ini sebagai wujud penghormatan kepada gurunya yang sudah berpulang ke rahmat Tuhan YME. Kemudian ide ini dikembangkan kembali setelah melalui beberapa pendekatan dengan kelompok transgender, salah satunya ada di pesantren waria Kotagede. Di sana mereka menemukan dan mempelajari beberapa jejak historis persoalan transgender. Temuan-temuan tersebut diakui sebagai hal-hal yang tidak terpikirkan mengenai permasalahan dan orientasi sebagai transgender.

  • Meliantha Muliawan Merekonstruksi Kartu Pos Sebagai Benda yang Diabaikan

Untuk pameran Pra Biennale 2019, Meliantha Muliawan akan mengangkat gagasan tentang kartu pos sebagai benda yang diabaikan. Gagasan ini berangkat dari pengalamannya ketika sedang berlibur. Meli melihat bahwa kartu pos tidak lagi  berfungsi seperti sebelumnya. Saat ini, sebagian besar pembeli kartu pos biasanya merupakan kolektor. Sangat jarang menemukan orang yang membeli kartu pos untuk berkirim surat. Berangkat dari hal tersebut, Meli mulai mengumpulkan kartu pos selama dua bulan. Berbagai kartu pos tersebut secara tidak sengaja ia temukan di toko buku atau saat transit di bandara. Dari hasil temuannya, ternyata beberapa kartu pos yang ada di Indonesia memiliki template serupa.

Setiap kartu pos tersebut menampilkan lanskap pemandangan atau tempat wisata. Beberapa yang lain menampilkan potret kebudayaan, seperti tarian, juga flora dan fauna. Yang Meli sadari kemudian bahwa konten-konten visual dalam kartu pos tersebut menampilkan objek-objek yang tergolong mainstream di Indonesia, seperti Bali dan Jakarta. Sulit sekali menemukan kartu pos yang menampilkan visual daerah-daerah pinggiran. Kartu-kartu pos ini akan Meli keraskan dengan rasin dan dicat ulang sesuai dengan gambar aslinya.

Meli akan melipat dan menutup tepat di point of view atau objek-objek pada kartu pos tersebut. Sehingga nanti pengunjung yang datang harus menebak visual apa yang direpresentasikan di setiap kartu pos tersebut. Yang menarik adalah proses menebak tersebut juga menjadi cara untuk melihat sejauh mana pengetahuan dan empati orang-orang mengenai tempat-tempat wisata di Indonesia.

Meliantha Muliawan, atau akrab dipanggil dengan Meli, lahir pada tahun 1992 di Pontianak. Setelah menyelesaikan studi di Institut Teknologi Bandung Jurusan Seni Rupa Murni pada tahun 2014, Meli berdomisili di Yogyakarta. Setahun setelah lulus, Meli mulai aktif mengeksplorasi rasin sebagai medium berkarya. Ia menggunakan benda-benda yang bisa menyerap rasin seperti kardus atau kain yang selanjutnya dibuat ulang dengan cara dikeraskan seperti patung lalu diolah dengan teknik painting.

Meli tertarik untuk mengangkat benda sehari-sehari yang tidak simbolis atau domestik pada karyanya. Pada tahun 2017 Meli melakukan residensi di Redbase Foundation dan menggelar pameran tunggal dengan judul “Transclusent”. Meli juga mendapat penghargaan sebagai Top 3 Finalist of ‘Young Artist Award’ di Enlightment ARTJOG 11 dengan karya berjudul Vague Shapes in the Light di tahun 2018.

  • Rokateater Akan Menampilkan 209.000 Pass Photo

Dalam karyanya untuk Pameran Seniman Muda nanti, Rokateater akan menampilkan 209.000 pass photo dalam berbagai macam ukuran dan jenis. Mereka memilih medium tersebut karena dapat membuka berbagai macam kemungkinan, baik saat di pertunjukan maupun di pamerkan. Pass photo tersebut berasal dari ‘Nyoo Studio’ yang terletak di desa Kalisat, Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember. Jumlah tersebut hanya mewakili sebagaian kecil jumlah pass photo koleksi Nwe Studio.

Proyek seni ini diawali saat Rokateater mengunjungi Desa Kalisat. Mereka tertarik terhadap sekelompok anak muda yang menyelenggarakan pameran foto Kalisat tempo dulu. Dalam konteks sosial, Desa Kalisat merupakan desa  kosmopolitan yang memiliki stasiun dan dulunya juga memiliki bioskop. Di desa tersebut terdapat studio foto bernama Nyoo Studio yang berdiri sejak tahun 1930 dan memiliki kebiasaan untuk menyimpan pass photo.

Pass photo memiliki relasi dalam urusan administrasi yang berkaitan dengan identitas si pembuat dan diri sendiri. Nyoo Studio menjadi semacam museum kecil yang menjadi situs dalam merekam sejarah panjang warga desa Kalisat. Rokateater juga melihat bahwa studio foto menjadi perwakilan dalam sejarah perkembangan fotografi di Indonesia.

Proyek ini dikerjakan secara kolektif oleh seniman anggota rokateater, antara lain: Ceng Romli, Kurnia Yaumil Fajar, Prasetya Yudha DS, Rizki Nur Widyatmaja, dan Shohifur Ridho’i.

Rokateater yang dibentuk pada tahun 2016 ini merupakan kolektif studi seni dan penciptaan seni pertunjukan di Yogyakarta. Selain fokus dalam seni pertunjukan, Rokateater berusaha mencari kemungkinan medium, pendekatan dan praktek lain. Semua anggota Rokateater merupakan kelahiran tahun 90-an, mereka berasal dari berbagai macam bidang seperti teater, tari, videografi, dan seni rupa. Pada awalnya mereka mengangkat isu agama di Madura, kemudian mereka mengangkat fundamentalis agama dalam konteks politik Indonesia setelah reformasi.

Mereka melihat narasi sejarah dalam posisi sebagai subjek yang hidup pada saat ini. Pada tahun 2018, Rokateater pernah melakukan pertunjukan di luar teater dengan studi pass photo sebagai medium seni di Jakarta Teater Platfom.

  • Eldhy Hendrawan Mengajak Kita Mengingat Material Yang Terabaikan

Eldhy Hendrawan lahir di Magelang pada tahun 1986. Setelah lulus tahun 2012 dari jurusan Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada, ia melanjutkan S2 di Taiwan. Karena kedekatannya dengan orang-orang yang berkecimpung di bidang seni, Eldhy menjadi tertarik dengan dunia seni. Lewat berbagai macam medium seperti, foto, tembok dan lain sebagainya, ia tertarik untuk merespon nilai-nilai dan kisah-kisah yang dimiliki sebuah material, baginya material dapat bercerita dan memiliki sejarahnya sendiri. Pada tahun 2015 Eldhy mengikuti pameran rekonstruksi lagu rakyat di ladang tebu di Taiwan.

Pada karyanya di pameran ini, Eldhy bermaksud untuk mengajak kita mengingat hal-hal yang selama ini telah terpinggirkan. Menurutnya sebuah material selalu memiliki sebuah kisah, namun material saat ini menjadi terabaikan. Dalam karyanya ia menampilkan naskah-naskah kuno Jawa yang telah dirampas oleh Raffles saat Inggris menginvasi Asia Tenggara. Menurutnya Raffles memang berjasa untuk Indonesia, seperti membuat buku History of Java, penemu bunga rafflesia, pendiri Kebun Raya Bogor, dan sebagainya.

Namun di sisi lain, ia juga merampas kekayaan yang dimiliki Keraton. Naskah-naskah kuno yang telah dirampas tersebut saat ini memang sudah dikembalikan kepada Indonesia, namun hanya dalam bentuk digital. Menurutnya dalam hal ini, sebuah material dari naskah asli tersebut seolah terabaikan dengan adanya digitalisasi. Kemudian Eldhy merespon tembok rumah-rumah tua yang terabaikan. Rumah-rumah tua tersebut dulunya merupakan tempat yang megah dan dijadikan tempat tinggal, namun seiring berjalannya waktu rumah tersebut mulai diabaikan sehingga hancur atau dihancurkan. Sisa-sisa tembok yang telah dihancurkan tersebut, oleh Eldhy dikumpulkan dan disatukan kembali menjadi suatu kesatuan yang erat.

Dalam karya ini, Eldhy juga menggunakan pasir dari peristiwa Geger Sepei untuk mengingatkan terabaikannya tembok pojok benteng utara kraton Yogyakarta yang sudah hilang dan tidak ada yang satar kalau itu sudah hilang.

  • Marten Bayuaji Membicarakan Tambang Pasir Yang Menjadi Paradoks

Marten Bayuaji atau biasa dipanggil Marten lahir di Jepara pada tahun 1992. Setelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta, jurusan Pendidikan Seni Rupa tahun 2010, Marten melanjutkan S2 di Institut Teknologi Bandung dengan mengambil konsentrasi Penciptaan Seni. Marten memiliki hobi naik gunung dan terinspirasi dengan karya Cristo. Dengan menggunakan material dari alam serta pabrikan, ia merespon landscape maupun membawa landscape alam ke ruang pamer.

Dalam karyanya ia tertarik untuk membicarakan presfektif ruang di alam dan hubungannya dengan sesama manusia. Dari hal tersebut ia dapat merasakan kedekatan emosi dan spiritual dengan alam. Pada tahun 2018 Marten mengikuti residensi ‘Three Musketeers’ yang diadakan oleh Ace House Collective. Pada 2015 hingga 2018 ia mengikuti pameran di Festival Kesenian Yogyakarta.

Marten merespon tema pinggiran dalam Pra Biennale Yogyakarta tahun ini. Saat diberi tema tersebut ia melihat bahwa tambang pasir menjadi headline, namun jarang dibicarakan mengenai kebutuhan manusia akan pasir. Menurutnya keberadaan penambangan pasir menjadi paradoks, apalagi dengan gencarnya pembangunan yang dilakukan di Indonesia. Dalam karya ini Marten secara khusus membicarakan tentang Kali Gendol. Ia memiliki kedekatan secara emosional dengan tempat tersebut.

Menurutnya lokasi tersebut menarik karena merupakan jalur Gunung Merapi, yang merupakan gunung paling aktif di Indonesia. Dalam risetnya, para penambang sadar akan bahaya aktivitas penambangan terhadap alam. Namun alam juga memberikan berkah berupa banjir lahar dingin yang selalu mengisi kembali lokasi penambangan. Marten ingin menunjukkan bahwa pasir dapat membicarakan banyak hal, pasir memiliki identitas yang membawa nilai kemanusiaan. Serta ia ingin mengajak masyarakat untuk berpikir tentang seberapa banyak aktivitas vulkanik terhadap kebutuhan akan material vulkanik.

  • Fika Ria Santika Menggali Lebih Dalam Makna Songket

Fika Ria Santika lahir di Padang pada tahun 1987. Setelah menyelesaikan pendidikan strata satu di Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Padang, pada tahun 2012 Fika menyelesaikan studi Pasca Sarjana Penciptaan Seni Murni di Institut Seni Indonesia. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di Padang, Fika tertarik untuk mengangkat budaya Minangkabau. Berangkat dari falsafah ‘Alam takambang jadi guru’, ia mengembangkan bentuk visual dari representasi alam. Hal tersebut menjadi upaya Fika untuk belajar mendalami dan memahami alam.

Pemilihan medium dalam karya Fika berdasarkan sifat atau karakter yang mewakili gagasan yang akan ia angkat. Sebagian karyanya menggunakan kain, benang, tekstil, resin, dan akrilik, dalam bentuk dua dimensi, tiga dimensi, maupun kostum. Pada tahun 2015, Fika menjalani residensi Transit #3 di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Ia juga menjadi finalis Redbase Young Artist Award pada tahun 2016. Pada tahun 2019 Fika menjadi pameris dalam pameran kelompok “Monumenta: in Lightness” di Gajah Gallery, Singapura, serta pameran “Indonesian Women Artist, Into The Artist” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.

Fika Ria Santika menyampaikan gagasan mengenai songket sebagai salah satu hasil budaya Minangkabau melalui dua helai kain songket yang digantung di ruang galeri. Ia memesan dua helai kain tersebut ke pengrajin di Padang. Pemilihan motif songket dalam karya ini berdasarkan motif yang sedang popular di masyarakat. Yang jadi persoalan apakah masyarakat tahu secara dalam mengenai motif tersebut? Atau mereka hanya memilih berdasarkan kesan visual?.

Menurut Fika songket tidak hanya bernilai sebagai bahan sandang, tetapi juga sebagai medium untuk mewariskan falsafah minangkabau ke generasi selanjutnya. Permasalahan paling dasar yang kemudian ingin ia buka kembali adalah pemahaman tentang nilai songket yang lebih dalam. Sebuah nilai yang tidak hanya perihal materi. Melalui karya ini, Fika ingin menggali lebih dalam makna songket dengan cara melihat satu-satu benang yang sudah ditenun. Nantinya Fika mengharapkan pengunjung turut berpartisipasi untuk ikut membuka satu per satu helai benang yang ada pada kain songket tersebut. Ia akan mendokumentasikan aktivitas pengunjung tersebut dalam bentuk video.

  • Noise Brut Mengangkat Mitos Kali Brantas Lewat Komedi Yang Absurd

Pada Pra Biennale Yogyakarta tahun ini Noise Brut melakukan ziarah di Kali Brantas dan membicarakan hal-hal yang tak terlalu diperhatikan di sana. Kali Brantas merupakan sungai yang memiliki aliran sangat panjang, secara spesifik dalam Pra Biennale tahun ini, Nois Brut memilih landscape hilir yang berawal dari Mojokerto (Rolak Songo) sampai Surabaya. Daerah hilir dipilih karena secara sosiologis dan keseharian dekat dengan mereka, sedangkan bila di landscape tengah dan tinggi, mereka tidak mengenal medan dan tidak banyak mengetahui fenomena di sana.

Zona hilir banyak bersinggungan dengan absurditas perkotaan. Dalam zona tersebut limbah popok dan buaya putih menjadi fenomena yang dipertanyakan sebagai hal yang biologis juga magis. Ada kepercayaan masyarakat yang bila membakar popok akan menyebabkan iritasi pada bayi, karena itu masyarakat mengambil jalan tengah dengan membuang popok tersebut di Kali Brantas. Di sana buaya putih dipercaya sebagai mitos yang mereka puja sebagai dewa pelindung. Dibuangnya popok ke sungai secara perlahan-lahan, juga dianggap mampu membunuh buaya putih. Kedua mitos tersebut kemudian akan disampaikan dengan sesuatu yang jenaka dan komedi yang absurd.

Buaya putih dipilih karena banyak bersinggungan dengan hal-hal kapital. Seperti sakk (karung) yang bertuliskan tulisan Ponska, Pusri yang berhubungan dengan pupuk. Menurut Noise Brut, hanya ada 3% pupuk yang organik dan sisanya hanya gaya-gayaan yang sejatinya merupakan pupuk industrial.

Dalam mengerjakan karya ini, Noise Brut bekerjasama secara tematik dan saling bersinergi memasukkan ide-ide dengan setiap seniman atau kelompok di sekitar Kali Brantas. Mereka juga melakukan penjualan kaos untuk kemudian mempertanyakan kepada pembeli tentang pendapat mereka mengenai Kali Brantas. Pendapat-pendapat tersebut kemudian akan dikumpulkan dalam kliping dengan parodi dan narasi bingung.

Noise Brut bertujuan mengajak audiens untuk mengalami dua efek, yaitu merasa dan merasakan. Merasa ketika menjadi sosok penyebab kerusakan lingkungan dan menjadi sosok yang menjadi korban pada lingkungan yang dirusak atau telah rusak. Seperti mengajak menjadi sosok ikan yang habitatnya telah rusak karena limbah popok.

Noise Brut terbentuk pada tahun 2012, meseki memiliki banyak anggota namun pada Biennale Jogja tahun ini anggota yang terlibat adalah; Zalfa Robby, Dwi Januartanto, Sony Himantoko, Toyol Dolanan Nuklir, Uncletwis, dan Sito Fossy Biosa. Mereka berusaha menghapus domisili asal masing-masing, karena menurut mereka domisili merupakan wacana kuno. Mereka menggunakan dan berusaha mengawinkan berbagai macam medium seperti performance, video, suara, elektronik, dan gambar dengan menggunakan logika-logika pertunjukkan.

Mereka tertarik untuk mengombinasikan dan menangkap absurditas kehidupan dari masing-masing anggota. Lebih lanjut, mereka membicarakan tentang seks, religi, sains dan hal-hal yang terjadi di sekitar. Beberapa pameran yang pernah mereka ikuti yakni, Pra Biennale Jogja 2012, dan Biennale Sastra Jawa Timur 2015.

  • Pendulum Angkat Tema Fungsi Ruang Istirahat Bagi Mereka Yang Terpinggirkan

Pendulum merupakan kolektif yang dimulai 2018 oleh beberapa mahasiswa Kajian Budaya Media UGM. Dengan beranggotakan 8 orang, awal mula terbentuknya kolektif ini berangkat dari ruang belajar bersama dengan berbagai multi disiplin ilmu seperti, seni fotografi, seni rupa, musik, penelitian literasi, hingga merambat ke sastra. Awal dari program yang dilaksanakan Pendulum yang hanya sebatas diskusi mingguan, kemudian terinisiasi membuat website untuk menuangkan beberapa hasil riset yang sudah dilaksanakan. Kolektif ini dibuat untuk mengakomodasi beberapa mahasiswa yang di kelas tidak mendapatkan tempat untuk menyuarakan gagasan-gagasannya.

Rest In Fears merupakan karya fotografi 3 panel berbasis stage dari Pendulum. karya ini berangkat dari riset mereka mengenai ekonomi politik yang difokuskan pada keterasingan dan intervensi ruang seperti sasarannya yaitu di bioskop dan mal. Menurut beberapa pelaku yang ada di bioskop ataupun mal terlihat sekali bagaimana posisi relasi kuasa antara pemilik modal dengan orang-orang yang posisinya berada di bawah dan merasa terpinggirkan. Kemudian dari gagasan ini dikerucutkan kembali pada permasalahan ruang yang fungsinya untuk beristirahat bagi mereka yang posisinya terpinggirkan.

Dari pengamatan yang sudah dilaksanakan, karya ini kemudian berusaha untuk memperlihatkan kembali bahwa ada kondisi dari para pegawai yang berada di bioskop ataupun mal, yang saat mereka mencari waktu luang untuk beristirahat sejenak, kedudukannya merasa terancam dengan menghindari beberapa cctv yang dipasang.

  • TacTic Plastic (Kelompok)

  • Yosep Arizal Tampilkan Karya Apropreasi Dari Kitab Primbon

Yosep Arizal menampilkan karya apropreasi dari sebuah ‘kitab’ primbon Jawa yang ditulis dalam huruf pegon. Menurutnya, kitab primbon yang ia temukan di rumahnya di Lumajang, Jawa Timur tersebut berasal dari Jawa Timur. Hal tersebut diketahui jika dilihat dari cara penulisan kitab. Karena bila berasal dari Yogyakarta, huruf yang digunakan adalah huruf Jawa. Dalam primbon tersebut terdapat penanggalan 15 hari yang menceritakan tentang pengalaman air mani perempuan yang menunjukkan 5 bagian badan untuk disentuh.

Isi primbon tersebut mirip dengan Centini, yaitu pada bagian penanggalannya yang 15 hari, namun perbedaannya terdapat pada bagian yang disentuh. Dalam kitab itu dikatakan ‘air mani perempuan’, sedangkan dalam Centini dikatakan ‘hasrat seksual perempuan’. Walau dalam kitab tersebut membicarakan perempuan, namun Yosep Arizal interfensikannya dalam tubuh laki-laki. Hal tersebut dikarenakan penulis kitab adalah laki-laki yang melihat tubuh perempuan.

Yosep Arizal ingin menggambarkan perempuan yang melihat tubuh laki-laki. Ia memvisualisasikannya dalam lima bagian gambar anggota tubuh yang disentuh, juga disertai tata caranya dalam huruf pegon. Karya tersebut ia buat pada media kertas coklat dan kemudian digantung ditembok, serta meletakkan primbon pada kotak kaca yang disertai tata cara membacanya.

Dalam karyanya Yosep Arizal ingin menunjukkan kepada audiens bahwa kitab-kitab yang bertulisan huruf Arab (pegon) ternyata juga menceritakan hal-hal yang berbau seksual. Selain itu, ia ingin mengangkat kembali kitab primbon Jawa yang dianggap sebagai barang yang klenik dan tersubordinasikan.

Yosep Arizal berasal dari Lumajang,Jawa Timur, kini pria kelahiran tahun 1991 ini tinggal di Yogyakarta. Pada tahun 2016 Ia lulus dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Jurusan Seni Murni. Dalam berkarya Yosep Arizal menggunakan berbagai macam media seperti kertas, kayu, kulit, dan lain sebagainya. Selain membuat karya seni, ia juga tertarik dengan kuratorial dan menulis di beberapa perhelatan pameran. Dalam karyanya, Yosep tertarik untuk mengangkat teks maupun cerita di masa lalu. Pada 2018 ia pernah mengikuti Pameran Besar Seni Rupa Indonesia di Kota Batu dan Nandur Srawung di Taman Budaya Yogyakarta. Pada tahun 2014 ia menjadi penampil terbaik ketiga Sket Wajah pada festival Seni Lumajang yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Lumajang.

  • Wisnu Ajitama Merespon Triplek Bekas Untuk Menyampaikan Gagasan Tentang Pinggiran

Wisnu Ajitama lahir di Kediri pada tahun 1991. Setelah lulus dari Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta (2016), ia melanjutkan studi Pasca Sarjana Penciptaan Seni Murni di Institut Seni Indonesia. Berangkat dari hobi naik gunung dan susur gua, karya-karya Wisnu membicarakan isu sosial yang berkaitan dengan hubungan alam dan manusia.

Ia merespon material yang ada di alam, seperti akar dan tumbuhan, untuk diolah kembali menjadi instalasi dengan ukuran besar sejak tahun 2014. Wisnu berkarya di ruang-ruang tersembunyi (seperti: hutan, gunung, dan sungai yang minim aktivitas manusia) dan ruang publik. Pada pengerjaan setiap karya, ia merespon falsafah setiap lokasi dan melibatkan kerja sama masyarakat setempat.

Berbeda dengan material yang digunakan pada karya-karya sebelumnya, akar dan tumbuhan, pada karya ini Wisnu Ajitama merespon triplek bekas untuk menyampaikan gagasan tentang pinggiran. Menurut Wisnu triplek sangat dekat dan lekat dengan orang-orang pinggiran yang menggunakan material tersebut untuk membangun tempat tinggal.

Melalui material ini, Wisnu membuat konstruksi karyamenyerupai usus dua belas jari dengan display merespon ruang galeri dari lantai satu,tangga, hingga lantai dua. Usus dua belas jari ini merepresentasikan orang-orang pinggiran yang tidak mampu lagi menggunakan pikiran untuk menghadapi kemajuan zaman yang semakin cepat. Bagi orang pinggiran, usus dalam perutlah yang digunakan untuk berfikir. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana cara memenuhi kebutuhan untuk makan.

Proses pengumpulan triplek bekas untuk karya ini memakan waktu selama dua minggu. Dalam kurun waktu itu, Wisnu mendatangi tiga puluh lokasi yang dipilih secara acak dengan kesadaran sebagai seorang pemulung. Ia meminta triplek bekas tersebut dengan alasan untuk mebuat kandang. Dari tiga puluh lokasi, ada sepuluh lokasi yang tidak memperbolehkan Wisnu untuk mengambil triplek bekas mereka. Sepuluh lokasi tersebut kebetulan berada di kota.

Beberapa karya Wisnu dapat ditemukan di Gunung Pengger (Dlingo, Bantul) dengan judul ”Environmental Art-TELEK RENCEK-RENCEK” dan di Gunung Watu Payung (Gunung Kidul) dengan judul “Environmental Art-TELEK OSENG”. Di tahun 2018 Wisnu terlibat dalam Pameran Nature, Private Space, and Shelter “CUNDHAMANI” Geumgang Nature Art Biennale 8th dan Cube Exhibition “CUBELEMENTS” Geumgang Nature Art Biennale di Korea Selatan. Ia juga menggelar pameran tungal di Bentara Budaya Yogyakarta bertajuk “Environmental Art-LENG” di tahun yang sama.

  • Agnes Christina Coba Ungkapkan Proses Migrasi Leluhurnya Lewat Performance

Platform Perupa Muda Biennale Jogja XV - 2019Agnes Christina Lahir pada tanggal 22 Agustus 1987, Agnes yang berlatar belakang pendidikan Teknik Lingkungan di National University Of Singapore, pernah juga part time Certificate Degree Western Painting di Nanyang Academy Of Fine Art. Setelah pelatihannya tersebut, kemudian Agnes memulai proses berkeseniannya pada ranah Seni Teater. Berlatar belakang sebagai pegiat seni teater yang bergerak independen, karya-karya Agnes berangkat dari beberapa narasi cerita yang disusun kerangkanya seperti layaknya pembawaan pada seni pertunjukan. Pertunjukan terbarunya pada Festival Georgetown 2018 dan OzAsia 2018 sebagai pemain dan penulis naskah yang berkolaborasi dengan Tutti Arts Australia dengan judul “Say No More”.

Pada karya yang akan dipamerkan pada Pra Event Biennale kali ini, Agnes membawakan konsep karyanya dengan format alur cerita Panji dengan kerangkanya visualnya disajikan seperti wayang beber. Dalam gagasannya yang menggunakan konsep format seperti cerita Panji, yaitu mengandung beberapa unsur bagian seperti perjalanan, pertemuan, perpisahan, dan bagian cerita yang melintasi badan air, Agnes mencoba untuk mengungkapkan bagaimana proses migrasi leluhurnya dari China ke Indonesia dengan melihat beberapa bagian periode waktu yang hilang yang tidak terungkap dalam cerita leluhur. Karya ini kemudian akan divisualisasikan dengan beberapa gambar pada kertas kalkir yang nantinya akan ada performance dari Agnes yang akan membawakan ceritanya itu.

  • Kukuh Hermadi Merekonstruksi Ulang Mitos Pulung Gantung

Pada Pameran Seniman Muda mendatang, lewat karyanya Raden Kukuh Hermadi mencoba merekonstruksi ulang mitos Pulung Gantung. Kukuh heran dengan mitos yang berasal dari kampung halamannya yaitu Kabupaten Gunung Kidul. Banyak kejadian gantung diri yang terjadi di Gunung Kidul, setelah ia melakukan riset ternyata selain dilatar belakangi dengan hal-hal yang logis, mitos Pulung Gantung ternyata juga ikut berperan.

Pulung Gantung terdiri dari dua kata yaitu pulung (berkah) dan gantung (mengantung). Pulung Gantung dianggap sebagai bentuk tanda dari alam akan kejadian gantung diri. Pulung Gantung memiliki bentuk seperti bola api berekor panjang bewarna kebiru-biruan yang hinggap dari satu titik ke titik lainnya.

Menurut Kukuh gosip-gosip dari mitos yang berkembang di masyarakat ikut berperan dalam membuat konsep realitas baru. Namun gosip yang beredar sangat banyak dan berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Dalam karyanya Kukuh akan menampilkan distorsi suara-suara yang berasal dari gosip-gosip yang dikatakan oleh masyarakat di beberapa titik koordinat di Gunung Kidul.

Kukuh ingin mengedukasi masyarakat untuk tidak menyepelekan manusia yang berkeinginan untuk bunuh diri. Ia mengajak audiens untuk saling peduli kepada sesama manusia, karena bunuh diri dapat terjadi pada siapa saja.

Raden Kukuh Hermadi lahir pada tahun 1995 di Gunung Kidul. Saat ini ia sedang menyelesaikan pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, jurusan desain grafis. Ia membuat berbagai macam instalasi yang tak jarang mengajak audiens untuk berinteraksi. Kukuh Hermadi berkeinginan untuk memadukan cetak grafis dengan kelistrikan. Dalam karya-karyanya ia menampilkan pengalaman personal dalam bentuk drawing dan cetak grafis. Kemudian pada masa
kuliah, ia tertarik untuk mengeksplorasi kampung halamannya yaitu Gunung Kidul.

Fokus tema yang ia angkat mengenai hubungan mitos dengan masyarakat di Gunung Kidul, ia ingin merekonstruksi mitos yang berkembang di sana. Pada 2018 Kukuh mengikuti Jogja Internasional Miniprint Biennale 3rd di Museum dan Tanah Liat Yogyakarta, kemudian pada tahun yang sama ia mengikuti program semi residensi WORK (IN) TITLE : SILANG TEMPAT di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan (FSRD) Institut Teknologi Bandung.

  • Siam Candra Artista Merefleksikan Fenomena Game Mobile Legend Lewat Karya Instalasi

Siam Candra Artista lahir pada tahun 1995 di Mataram. Ia menyelesaikan studi di Institut Seni Indonesia Jurusan Seni Lukis pada tahun 2018. Saat ini Siam berdomisili di Yogyakarta. Ia aktif berkarya sejak menempuh pendidikan di SMA N 6 Kota Cirebon tahun 2013. Siam tertarik membicarakan fenomena masa kini yang ada di media sosial maupun lingkungan pertemanannya dan merefleksikan hal tersebut dengan masa lalunya untuk mencari kesinambungan. Siam berkarya melalui medium painting pada kanvas dan mengeksplorasi medium lain seperti kertas, emblem, kayu, dan batik.

Pada tahun 2018 Siam menggelar Pameran Tugas Akhir bertajuk “Keep Me On Fire” di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta. Ia juga aktif berpameran secara kolektif seperti pada pameran “Young Artist Talk About Young Artist Whos Talking About Young Artists” Medium Rare Art Exhibition di Ace House tahun 2017 dan pameran Seni Personal “Katarsis” di Redbase tahun 2018. Pada Mei 2019 lalu ia berkolaborasi dengan Olski, band indie pop asal Yogyakarta.

Siam Candra Artista menghadirkan karya instalasi berupa meja kerja animator dengan tiga buah monitor yang menampilkan motion graphic disertai alat gambar dan cerita hero karangan remaja. Pada karya ini Siam merefleksikan fenomena game Mobile Legend yang dia alami setahun lalu. Hal tersebut berangkat dari pengalamannya saat menyaksikan remaja usia 13-15 tahun, yang dengan santai dan sengaja mengetik kalimat-kalimat dengan tujuan untuk merundung sesama pemain atau lawan main dalam permainan tersebut. Muncul pertanyaan, mengapa para remaja melakukan hal tersebut? Apakah hal tersebut berpengaruh terhadap imajinasi mereka, mengingat ada yang sudah bermain Mobile Legend selama 3 tahun.

Siam pun mencoba mencari tahu imajinasi remaja usia 13-15 tahun setelah bermain Mobile Legend dengan cara mengajak 12 remaja di sekitar tempat tinggalnya (Wiyoro, Banguntapan) berkolaborasi untuk membuat karakter hero dengan latar belakang cerita, visual, senjata, maupun kemampuan sama seperti yang ada di Mobile Legend. Yang berbeda, Siam meminta mereka untuk menggali karakter hero tersebut dari hal-hal terdekat. Bersama mereka, Siam pun menggambar karakter-karakter yang sudah dirancang sesuai dengan detail yang mereka inginkan.

Pada karya ini Siam menghasilkan tiga karakter, salah satunya bernama Waysem (Wayang Semar), yang menggunakan fenomena Gunung Merapi sebagai latar belakang. Berkolaborasi dengan animator dan music director, ketiga sketch karakter tersebut diolah menjadi motion graphic.

Di karya ini, Siam tidak ingin menilai bahwa game membawa dampak baik atau buruk bagi pemainnya. Siam ingin pengunjung melihat dan berinteraksi langsung seperti halnya kolaborator. Pengunjung diharapkan menilai sendiri apakah game ini berdampak baik atau buruk setelah membaca dan menyaksikan cerita anak-anak remaja ini.

  • Studio Malya Angkat Isu 65 Lewat Instalasi Suara Menggunakan Medium Kaleng

Studio Malya merupakan salah satu kolektif yang terbentuk pada tahun 2018, diinisiasi oleh beberapa mahasiswa Fisipol UGM yang tergabung pada kegiatan teater selasar. Teater sealasar sendiri merupakan salah satu kegiatan seni pertunjukan yang ada di Fisipol UGM. Gagasan awal terbentuknya kolektif ini merupakan bentuk atas kegelisahan dari setiap anggota yang merasa ingin membuat suatu proyek kegiatan yang berkelanjutan secara organik. Berlatar belakang dari lintas disiplin ketertarikan yang berbeda dari setiap anggotanya, Studio Malya mencoba eksperimen ke berbagai bentuk hal dengan memasuki berbagai ranah seni rupa ataupun seni pertunjukan.

Sempat bekerja sama dengan kegiatan SACS (Selametan Anak Cucu Sumilah) 2018. Kegiatan yang dilaksanakan oleh kolektif ini berupa diskusi, pertunjukan, pameran arsip, pemutaran film dan yang lainnya. Bentuk-bentuk kegiatan yang terlaksana di Studi Malya juga merupakan salah satu cara untuk mendukung proyek personal dari masing-masing anggota.

Karya instalasi suara menggunakan medium kaleng dengan jumlah 65 merupakan metode telepon sebagai alat untuk merekam dengan mengangkat gagasan isu 65 saat pada masa itu. Kemudian relasi antara isu 65 ini dengan mencoba membuka kembali dengan pertanyaan bagaimana isu 65 dibicarakan pada hari ini. Dalam benak salah satu anggotanya, jika membicarakan isu 65, maka tercetuslah keinginan untuk membuat museum dengan diorama. Museum yang diharapkan menjadi rekonsiliasi jangka panjang dengan penggunaan karya ini direfleksikan sebagai anti diorama kemudian karya ini berbicara mengenai new museum yang kehadirannya menyimpan kontroversial. [uth]

4.7/5 - (10 votes)

Simak Pula Pawarta Tentang , Atau Adicara Menarik Lain Oleh Utroq Trieha


Tentang Utroq Trieha